Selamat Datang di Blog Didik Harianto

Yang Terserak di Ujung Penaku…

Sudahlah, Semua Memang Harus Berakhir…

Posted by didikharianto pada Desember 25, 2006

Sudahlah, Semua Memang Harus Berakhir…

Sebuah Kado Terakhir, untuk perempuan itu


Sudahlah, semua memang harus berakhir…

xxx

Sudahlah, kau tak perlu seperti itu. Kau tak perlu merasa bersalah. Kau tak perlu minta maaf. Semua sudah terjadi, Gih. Tak ada yang perlu kita sesalkan, karena kita telah mempunyai dunia masing-masing sekarang. Sudahlah, kau tak perlu “menangisi” kepergianku. Tapi, biarkan aku saja yang dengan benar-benar menangisi kepergianmu. Meskipun tangisan itu terlalu lirih untuk disebut sebagai penindasan, tapi paling tidak, tangisan itu berbanding lurus dengan kesedihan.

Sudahlah, lebih baik kau bakar saja semua kenangan yang pernah ada, hingga semua tak lagi berbekas. Bahkan, untuk disisakan sebagai sejarah yang kelam agar anak cucu kita dapat berkacapun jangan. Kuminta sekali lagi, dengan tegas, jangan! Baklah, aku tahu, mungkin beberapa sejarah yang pernah kutorehkan bersamamu, bagimu tidaklah terlalu indah. Tapi bagiku? Itu semua bukan hanya indah, tapi sangat berharga. Meskipun keberhargaan itu terlalu lirih untuk disebut sebagai kemewahan, tapi paling tidak, keberhargaan itu berbanding lurus dengan anugerah.

Sudahlah, kau tak perlu lagi mengenang puluhan puisi yang pernah kukirimkan kepadamu. Kau juga tak perlu lagi mengenang beberapa kali kau mengangkat teleponmu, dan di seberang, kau temui suaraku yang terkerat waktu kelabu. Kau juga tak perlu lagi membuka emailmu, jika hanya untuk kembali mendownload beberapa tulisanku yang kukirimkan lewat attachment. Lebih baik kau hapus saja semua puisi yang kukirim lewat pesan pendek di berhala kecilmu. Pun, dengan beberapa email yang berisikan semua rasaku kepadamu. Jika kau ingin dengan benar-benar menghilangkan jejakku yang pernah tertinggal di dunia indahmu. Lakukan saja! Tak perlu ragu! Biarkan aku sendiri saja yang mencoba menerima apapun di atas apa yang kau lakukan. Meskipun keberterimaan itu terlalu lirih untuk disebut sebagai kekalahan, tapi paling tidak, keberterimaan itu berbanding lurus dengan pengorbanan.

Sudahlah, kau tak perlu lagi bersandiwara seperti itu. Aku tahu, mengapa kau sulit sekali untuk kuajak menghabiskan waktu. Meskipun hanya sekadar melihat performancenya Tani Madjoe, yang seperti katamu kau suka sekali dengan Band itu. Kau tak perlu lagi memasang muka malas dan berucap, “aku malas untuk keluar,”. Bilang saja aku bukan orang yang tepat untuk berdampingan denganmu! Pun, dengan katamu yang suka berurusan (atau sekedar main-main, mungkin? Siapa tahu?) dengan dunia buku. Berulang kali aku mencoba mengajakmu menghadiri Pameran Buku, Bedah Buku ataupun Launching buku. Tapi pernahkah kau mau? Sepertinya aku memang benar-benar bukan seseorang yang tepat untuk berada di sampingmu! Harusnya kau bisa lebih jujur, Gih! Meskipun kejujuran itu terlalu lirih untuk disebut sebagai al-amin, tapi paling tidak, kejujuran itu berbanding lurus dengan kebenaran.

Sudahlah, kau tak perlu lagi banyak berjanji kepadaku. Kau tak perlu lagi berjanji akan datang ke rumahku, kemudian bersama kita akan memasak apapun yang kita bisa. Shit! Itu kan hanya ada di film Ada Apa Dengan Cinta. Sedangkan di dunia yang kita huni? Itu tak akan pernah bisa terjadi. Tidak akan! Kau tak perlu lagi membuang banyak energi untuk berjanji kepadaku. Lebih baik kau gunakan saja energimu itu dengannya. Kuyakin, dia lebih membutuhkan kehadiranmu. Daripada kau hadir di duniaku yang sedang kuperbaiki ini. Lupakan saja janjimu jika itu perlu. Karena orang-orang sepertiku adalah orang-orang yang sering tersingkir dan terpinggirkan oleh sebuah keinginan. Meskipun keinginan itu terlalu lirih untuk disebut perjuangan, tapi paling tidak, keinginan itu berbanding lurus dengan harapan.

Sudahlah, kau tak perlu tahu dengan duniaku yang baru. Yang pasti aku tak akan terjun ke dunia kegelapan. Aku tak akan melakukan tindakan bodoh dengan melukai diriku sendiri. Aku memang suka dengan Tani Madjoe, tapi paling tidak, aku tidak akan menyanyikan lagu “Pemabuk” untuk diriku sendiri. Aku hanya akan tejun ke kedalaman palung paling gelap. Mungkin, disanalah aku ditetapkan berada. Biarkan, aku, calon penyair yang pemurung ini akan bersembunyi di balik rambutku yang (akan) memanjang. Mungkin tak akan kau temui lagi diriku yang berlumur kata-kata indah. Tentang cinta, tentang rindu, tentang kasih sayang dan tentang semua yang berlabelkan penyatuan dua hati. Mungkin akan kau temui diriku yang bersimbah kata-kata tentang kesepian, kesenyapan, dan tentang semua yang berceritakan tentang kesunyian. Meskipun kesunyian terlalu lirih untuk disebut khalwat, tapi paling tidak, kesunyian itu berbandung lurus dengan kesendirian.

Sudahlah, aku tetap akan membayangkan tentangmu. Meskipun kau telah benar-benar akan melupakanku. Kutahu, kau akan melanjutkan hari-harimu dengannya. Dengan dia yang telah berhasil meruntuhkan semua idealismemu. Bukan lelaki sepertiku yang tak mampu merobohkan tembok itu. Aku tak lebih dari lelaki yang sekedar numpang lewat dalam kehidupanmu. Tak salah jika kemudian kau menjadikan aku sebagai keinginan yang kedua, ketiga, keempat, atau ke dua puluh empat, mungkin? Semestinya aku tak perlu meminta sesuatu yang berlebih kepadamu. Semestinya aku harus berterima kasih atas apa yang telah kau berikan kepadaku. Kau sudah begitu baik kepadaku. Kau telah bersedia menemaniku dalam berbagai lintasan. Untuk itu, tak seharusnyalah aku memintamu untuk memberikan sesuatu yang berlebih kepadaku. Karena pada kenyataanya aku tak pernah atau mungkin tak akan pernah mampu memberikan sesuatu kepadamu. Meskipun pemberian itu terlalu lirih untuk disebut sebagai hadiah, tapi paling tidak, pemberian itu berbanding lurus dengan ketulusan. Dan, aku telah dengan benar-benar tulus menyayangimu, Gih…

Sudahlah, tak perlu kau tunggu akhir dari cerita ini. Biarkan aku dengan segala sepiku masih tetap setia berada di bawah pohon, di sebuah taman yang kerap kali mempertemukan kita meskipun kita berasal dari disiplin ilmu yang berlainan. Ketika menulis inipun aku masih setia berada di bawah pohon itu. Meskipun sedikit sekali kenangan yang pernah tertoreh di bawah pohon itu. Tapi percayalah, dari bawah pohon inilah aku sering melihatmu dengan bermacam kepingan asa yang sering kau gambarkan dengan jelas di balik jilbabmu. Meskipun gambaran itu terlalu lirih untuk disebut sebagai berita, tapi paling tidak, gambaran itu berbanding lurus dengan realitas.

Sudahlah, aku semakin tak bisa mengingkari takdirku sendiri. Aku tak bisa melawan apa yang telah digariskan oleh Yang Maha Segalanya. Aku tak bisa! Meskipun telah dengan amat mudah aku mengucapkan, aku akan secepatnya melupakanmu! Tidak! Ternyata aku tak bisa. Aku tidak dengan sebegitu mudah menghapus atau melupakan semua hariku yang telah kau coret dengan tintamu. Mungkin memang benar, tak usahlah aku terlalu tenggelam dalam “euphoria” yang kini telah nyata dan benar adanya tersaji “indah” di depanku. Mungkin memang benar juga, secepatnya aku harus mengucapkan “Selamat Tinggal” kepada “euphoria” itu. Memang benar, mungkin. Tapi yang sungguh-sungguh benar dan besar adanya adalah, aku masih menyayangimu. Meskipun sayang itu (kini) terlalu lirih untuk disebut sebagai cinta, tapi paling tidak, sayang itu berbanding lurus hatiku.

Sudahlah, kau tak perlu lagi membaca cerita ini. Sekarang, setelah menemukan akhirannya. Cerita inipun juga harus berakhir. Seperti kisah kita yang juga harus berakhir. Sudahlah, semua memang harus berakhir…

xxx

Sudahlah, semua memang harus berakhir…

Di satu sudut kamarku & bawah pohon taman lokal J UM.

30 september 2006-5 oktober 2006.

2 Tanggapan to “Sudahlah, Semua Memang Harus Berakhir…”

  1. SatanicChild said

    ngono ae usah,… ! Ak kasih tau yo,…… ? ( jangan tersinggung )patah hati itu memang pait ap awanya saja klau udah 2 x paitnya dikt2 ketiga blass gak pait

  2. gigi said

    waduh…katana uda gak ada namaku lagi di blog ini…kok masih terbit aja yach cerita ini…apa nama saya yang cantik itu tidak perlu di sensor?

    ^_^

Tinggalkan Balasan ke SatanicChild Batalkan balasan