Selamat Datang di Blog Didik Harianto

Yang Terserak di Ujung Penaku…

Analisis Roman “Tiga Puntung Rokok” Karya Nasjah Djamin, Sastrawan Angkatan ‘50an

Posted by didikharianto pada Januari 1, 2007

UNSUR INSTRINSIK

A. TEMA CERITA

Roman ini bertemakan kehidupan, social kemasyarakatan, diman diceritakan kisah hidup seseorang yang tidak mau dicap “gombal”, berisi perjalanan hidupnya dari PNS rendahan menjadi orang sukses

B. SETTING

A. SETTING TEMPAT : JOgjakarta, sumedang, bali. Pekalongan, dan Jakarta

B. SETTING WAKTU : antara tahun 1960-1985

C. PENOKOHAN (TOKOH DA SIFAT) :

  1. Masri : Tokoh utama dalam novel ini, umur 49 tahun, perokok, idealis, suka memancing.

  2. Marsina : Wanita Makassar, pacar pertama Masri, anggun dan ramah.

  3. Siti masnun : Umur 20 tahunan, anak Marsina, urakan.

  4. Retno : Umur 17 tahunan, anak Masri, akan melanjukan ke universitas.

  5. Rahimah : Perempuan desa, istri Masri.

  6. Pak kus : Mantan kepala kantor tempat Masri menjadi pegawai negeri.

  7. Tumi : Gadis ayu, wanita tuna susila, bapaknya kiyai, asal Trenggalek.

  8. Bayu : Anak Masri.

  9. Karno : Anak Masri.

  10. Pak Nurdin : Pegawai administrasi di salah satu penerbitan buku

  11. Darso : Sutradara, Pendek kekar.

  12. Harjo : Manager, perawakan jangkung, rapi.

  13. Maskun : Laki-laki tua yang tidak ingin kehilangan peran.

  14. Min : Kemenakan Darso, drop out dari SMP.

  15. Pak Rambi : Produser yang ambisius.

  16. Satiyo : Perantau dari Jogja yang sukses di Jakarta.

  17. Siti subandiah : Istri Satiyo.

  18. Amrus : Pematung.

  19. Raidin : Sahabat Masri yang juga telah sukses di Jakarta.

  20. Wakijan : sahabat Masri di Jakarta

  21. Mira : Pendatang baru yang rela menyerahkan keperawanan demi mendapat peran utama di film.

  22. Inem : Asli Jogjakarta, jadi pembantu di rumah Satiyo

D. GAYA BAHASA

Roman ini menggunakan gaya bahasa

E. ALUR

Alur yang digunakan dalam roman ini adalah alur Maju

F. AMANAT

Amanat yang ingin disampaiakan oleh penulis roman ini adalah dalam hidup kita seharusnya lebih arif dalam menyikapi semua hal, tidak hanya melihat sebuah kenistaan dari satu sudut pamdang saja, juga kita diharuskan untuk bejuang untuk meraih apa yang kita citakan, tentunya dengan jalan yang benar, tanpa harus KKN.

3. UNSUR EKSTRINSIK

  1. LATAR BELAKANG PENGARANG

NASJAH DJAMIN, lahir 24 september 1924 di Perbaungan, sumatera utara. Dia dapat dikatakan seorang yang serba bisa. Dia berkecimpung dalam dunia seni lukis, sastra, drama dan film. Pada umurnya yang hampir enam puluh tahun (1985) dia masih aktif terus menulis. Suatu prestasi yang sukar dicapai oleh pengarang Indonesia terutama yang telah mencapai umur di atas setengah abad

Buku-bukunya yang sudah terbit antara lain : Hilanglah Si Anak Hilang (novel), Gairah Untuk Hidup Dan Untuk Mati (novel), Malam Kuala Lumpur (novel), dan Senja Pun Turun (novel), Bukit Harapan (novel), Sekelimut Nyanyian Sunda (drama), Titik-Titik Hitam (drama), Perkawinan (kumpulan cerpen), dan beberapa cerita bergambar dan cerita anak-anak

Nasjah djamin pernah memperdalam pengetahuannya di bidang teater (kabuki), film dan TV di tokyo, jepang pada tahun 1961-1964. di bidang perfilman dia pernah menjadi art director, asisten sutradara, make up-man dalam berbagai produksi film

Drama Sekelimut Nyanyian Sunda mendapat hadiah BKMN tahun 1958, tahun 1970 Nasjah mendapat anugerah seni dari pemerintah RI untuk novelnya Gairah Untuk Hidup Dan Untuk Mati. Tahun 1980 novel Harapan Undian Harapan yang kemudian berjudul Bukit Harapan mendapat hadiah utama penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Novelnya Hilanglah Si Anak Hilang telah diterjemahkan ke dalam bahasa prancis

Di bidang seni lukis Nasjah djamin telah mengadakan pameran lukisan baik secara nasional maupun internasional. Likisan-lukisannya menjadi koleksi beberapa pejabat penting Indonesia dan Malaysia

  1. SOSIAL CULTURE

Kehidupan nyata Nasjah djamin sangat mempengaruhi cerita dalam roman ini, Nasjah djamin yang notabene memang seorang penulis, pelukis, kru film berhasil “diperankan” Masri, tokoh utama cerita ini.

 

 

1. RINGKASAN CERITA

Diawali dengan cerita dimana Masri sedang memuaskan hobynya, yaitu memancing. Suatu ketika pada saat memancing, Masri bertemu dengan Siti masnun atau biasa dipanggil “Nun”, seorang gadis yang hiperaktif, manis, trendy, jadi mengingatkan Masri kepada Marsina, cinta pertamanya yang harus dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tua Marsina, tapi cinta Marsina tetap pada Masri, “aku adalah miliku, lahir dan bathin. Tubuhku dan hatiku. Bilapun besok lusa aku sudah jadi milik oramg lain disahkan dengan surat nikah, tapi aku tetap milikmu. Aku istrimu, sahabatmu, segalamu. Keadaan yang kaku teganglah yang tidak “meresmikan” kita. Aku akan kembali padamu, mas, biarpun aku menjadi istri orang lain. Kukorbankan segalanya, untukmu dan untuk anak-anakku. Kujal tubuhkau sebagai yang dikehendaki mereka! Tapi hatiku tidak kujual, sudah kuberikan padamu ! “, kata Marsina waktu itu pada Masri. Sehingga mereka memutuskan hilang dari Jogja dan berbulan madu secara sembunyi-sembunyi di Bali meskipun sebulan kemudian ia harus menikah dengan “jodohnya”. Pada saat memancing pula, Masri bertemu dengan Pak Kus, mantan atasannya sewaktu menjadi pegawai negeri yang benar-benar jujur meskipun korupsi sudah ada di depannya. “bapak gombal”, ialah perkataan Retno, anak Masri yang menjadi pelecut semangat Masri untuk segera merubah kehidupan. Jakarta, adalah tujuan Masri waktu itu. Kebetulan, waktu itu ada surat berisi segepok uang dari Pak Darso sebagai biaya perjalanan Masri menuju Jakarta, dia diminta menjadi asisten sutradara untuk sebuah penggarapan film, Masri sendiri mempunyai idealisme yang tidak mahu korupsi dan tidak mahu membuat film “rongsokan”, “aku tidak ingin bikin film rongsokan. Bila aku menggarapnya, aku mahu itu hasil ukuran yang baik senagai nilai film. Kasarnya, aku tidak mau “melacur”… “, kata Masri waktu itu. Ketika sudah ada di Jogja, Masri bingung, kemudian bertemu dengan Tumi, seorang WTS yang benar-benar cinta kepada Masri. Sehingga pernah suatu saat Tumi mengajak Masri untuk berpura-pura menjadi suaminya selama satu hari hanya untuk membahagiakan orang tuanya di Trenggalek.

Dalam perjalanan Jogjakarta-Jakarta, Masri bertemu dengan Nun, gadis yang pernah bertemu dengannya waktu mancing tempo dulu. Dalam perjalanan ke Jakarta, gadis itu manja sekali kepada Masri. Kembali Masri teringat Marsina ketika akan menyeberang selat bali dalam perjalanan nekad sebelum mereka berpisah, “aku kepingin “nyeni” seperti kau, mas. Aku ingin mengiringi kemanapun engkau pergi. “. Begitulah, bayang Marsina yang selalu hadir dalam setiap detik kehidupan Masri. Sesampai di Pekalongan, Nun membelikan rokok kretek kepada Masri dan juga mentraktirnya makan di restoran Padang, bus terlambat tujuh jam sampai di Terminal Pulogadung. Karena tidak mempunyai tujuan pasti, Masri menginap di rumah Nun, disana Masri tahu “kebejatan” Nun, ternyata Nun yang begitu manis adalah seorang sosok penganut freesex, suka memakai narkoba. Akhirnya Masri bosan dengan “rutinitas” seperti itu, ketika Nun masih pulas dalam tidirnya, Masripun keluar dari rumah itudeengan meninggalkan tulisan dengan memakai lipstik di kaca rias Nun yang bertuliskan, “Trims atas keramahanmu, Nun..”

Sepeninggal dari rumah Nun, Masri bertemu dengan Pak Nurdin, pegawai yang agak lumayan di bagian administrasi penerbitan buku. Pak Nurdin mengatakan bahwa buku anak-anak pesanan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang pernah ditulis Masri dipesan dan dicetak sebanyak seratus lima puluh ribu eksemplar, buku itu terbit pada tahun 1952 yang lalu, puluhan tahun. Mengalami cetak ulang sekali, setelah berlalu masa sepuluh tahun. Dan Masripun mendapat honorarium sebesar dua setengah juta rupiah. Dan oleh Masri wang itu langsuns saja dikirimkannya ke Jogjakarta untuk memenuhi keinginan anaknya, etno yang menginginkan sepeda motor, Masri hanya menyisakan wang dua puluh lima ribu rupiah untuk “berahan hidup” di Jakarta. Uang itu digunakan untuk pergi k tempat Darso, seorang teman yang “membutuhkannya” untuk produksi film, sesampainya di rumah Darso mereka langsung mengadakan pesta bir. Setelah itu Masri menerima gaji sebesar satu juta rupiah untuk pekerjaan sebagai art director, tapi pekerjaan Masri terpaksa ditunda dulu karena masih menunggu adanya cukong yang mau membiayai sepenuhnya film ini. Dalam fase “menunggu” ini, Masri bertemu seorang kawan yang pernah membaca buku anak karya Masri, ia pun ingin Masri menulis untuk cerita anak lagi, Masripun setuju dengan tawaran itu dengan kompensasi honor 20% dan rabat 35%. Sepeninggal dari penebit, Masri mengalami “betisan” di jalan seberang kantor penerbit, tak diduga ada sebuah mobil yang waktu itu berhenti epat di depan Masri. Marsina..!!, ya, Marsina. Pertemuan yang tak pernah diimpikan dan tak pernah diharapkannya. Satu kebetulan. Masripun memutuskan untuk ke rumah Marsina, Masri mendapat order melukis sebanyak 50 buah lukisan, dengan harga perlukisan adalah dua ratus ribu rupiah, yang menjadi model dari lukisan Masri adalah Marsina sendiri. Jika Marsina harus berangkat bekerja pada pagi harinya, maka Masripn meneruskan naskah buku inpres pesanan dari temannya. Ketika sudah mencapai titik jenuh, Masri pernah meminta Marsina untuk bersedia untuk dilukis denga gaya “nude’ atau telanjang. Pagi hari pada hari keempat Masri ada di rumah Marsina, dering telepon memecah kesunyian pagi itu, ternyata telepon dari atasan Marsina yang meminta Marsina untuk ikut atasannya berangkat ke Hongkong, tapi sebelum berangkat, Marsina masih sempat berbicara kepada Masri, “aku adalah milikmu, aku istrimu, sahabat, dan segalamu, lahor bathin. Aku akan kembali padamu, mas, biarpun aku jadi istri orang lain, hatiku sudah kuberikan padamu !!”, sepeninggal Marsina ke Hongkong, akhirnya Nun memberitahukan kepada Masri tentang siapa sebenarnya dirinya dan juga Marsina, ternyata Nun dan Marsina adalah Ibu dan anak yang sama-sama telah menjadi pelacur !!

Masripun meninggalkan rumah itu, dia kemudian pergi ke rumah Satiyo, tak disangka di sana ia bertemu dengan Inem, perempuan yang juga asli Jogjakarta yang sekarang jadi pembantunya keluarga Satiyo, di rumah Satiyo pula Masri tahu bahwa Mira, calon artisyang rela keperawanannya direnggut hanya demi sebuahperan di film sebenarnya adalah keponakan Satiyo. Mira, ya, Mira, calon artis yang pernah hampir “diperkosa” oleh Masri di Taman Mini, alasan Masri waktu iu adalah ingin mengetahui seberapa bagus kemampuan berakting Mira, meskipun pada waktu itu Mira sempat shock juga, Masripun mengagumi kemampuan berakting Mira.

Setelah dari rumah Satiyo, pergilah Masri ke terminal, di sana ia bertemu dengan Tumi, akhirnya Masri memutuskan untuk bermalam di rumah Tumi. Ketika sedang ada di rumah Tumi, Masri digerebek oleh petugas RT dan RW, karena Tumi maupun Masri belum melapor kepada ketua RT maupun RW jika akan bermalam di rumah Tumi, dan Masripun mengaku sebagai suami Tumi, karena mereka berdua memang pernah melakukan pernikahan di Trenggalek dan mendapatkan sura nikah, untung saja surat nikahnya masih disimpan oleh Tumi, sehingga mereka urung terkena sanksi oleh petugas RT dan RW. Pada dinihari sebelum Masri memutuskan untuk meninggalkan Tumi, Tumi melakukan semacam upacara untuk “perceraian” mereka. Tumi bersimpuh di lantai, Masri bersila di hadapannya. Diantara mereka terdapat dua buah kotak, kotak pertama, berisi surat nikah, dan kotak kedua lebih besar dari kotak pertama, lalu sebuah talan lebardari perak; sebatang lilin memancang di situ dan sebuah korek api.

“Aku Tumi, pernah dinikahi oleh Mas, saat ini memohon cerai, dengan hati tulus dan rela”

“Bersediakah mas mengabulkan permintaan cerai ini?”

“Ya, “ kata Masri, “Saya bersedia”

“Dengan hati bersih, tulus, dan rela?”

“Dengan hati bersih tulus dan rela”

“Tidak ada sesal di kemudian hari?”

“Tidak ada sesal di kemudian hari”

Setelah melaksanakan “upacara” perceraian itu, Tumipun membakar surat nikah

“Selesai mas, sekarang yang ada antara kita, persahabatandan persaudaraan”

Setelah itu, Tumi memberikan tanda persahabatan kepada Masri berupa emas, Masripun baru mahu menerima jika tidak dari tanga Tumi, Masri harus mengambil sendiri. Setelah dari rumah Tumi, Masripun pergi ke restoran Satiyo dan Masri diangkat menjadi asisten bagi Mira untuk pembuatan film nanti.

Kembali ke Jogja, dapat tiga minggu, Masri mendapat uang empat juta rupiah dari Rambi sebagai “uang komisi” karena berhasil menjerat si cukong, Satiyo. Satiyopun juga tidak ketinggalan, dia memberi Masri setengah juta rupiah karena Masri bersedia membantunya dalam persoalan rumit dengan Mira. Telegram dari Marsinapun sampai di Jogja, sesampainya di rumah, terjadi pertengkaran hebat antara Marsina dengan Nun

Masri mendapat gaji sembilan juta enam ratus ribu rupiah dari hasil jual lukisan kepada bossnya Marsina, dengan perhitungan satu lukisan seharga dua ratus ribu rupiah dikali empat puluh delapan lukisan yang berhasil diselesaikan Masri, tapi kemudian setengah dari itu diberikan kepada Marsina, sebagai “upah” menjadi modelnya

Masri mendapat telegram dari Mira, “Oom! Kami segera start. Datanglah ke Jakarta, Dampingi Mira, Bantulah hari depan Mira”. Masripun kembali ke Jakarta, meninggalkan budaya “tiga puntung rokok”. Ya, tiga puntung rokok, jangan terulang.

11 Tanggapan to “Analisis Roman “Tiga Puntung Rokok” Karya Nasjah Djamin, Sastrawan Angkatan ‘50an”

  1. juventini said

    analisis yang cukup menarik. tapi masih sangat ‘hambar’. yaa lumayan lahh boeat insan yang mau bersuara. minimal kan ada yang memperhatikan karya sastra dalam negeri!!!! tull gak???? gut luck fren! Bersatu sastra Indonesia!! Bravo Chairil!!!! Sekali berarti sudah itu mati!

  2. ika said

    Waow!!! Saya merasa benar-benar kuper, sampai baru tahu ada roman ini.

  3. Mr. sadox said

    sadox nyong……………

  4. ardi said

    bos tolong dwonkz….
    tampilkan artikel novel dan senja pun turun karya nasjah djamin…
    penting BGT tuh….

  5. andhika said

    benar” menarik……….

  6. BAYU said

    makasih bgt gan atas post nya….

    nge bantu ane bgt buat tugas sastra…

  7. sifa nur solihat said

    …mas didik tebal halaman roman ini berapa sihh…
    di tunggu jawaban nya…
    🙂

  8. ucing ngalewat meong said

    ringkasan nya bisa di persingkat ga ini buat ngprint smpe 2 lembar saya duitnya ga cukup dan males baca

  9. yen said

    jdi novel ini mirip ya sama khidupan pngrang yg sesungguhx?????

  10. pipelo said

    terima kasih infonya..

Tinggalkan Balasan ke ika Batalkan balasan