Selamat Datang di Blog Didik Harianto

Yang Terserak di Ujung Penaku…

Archive for Desember, 2006

Yang tak Kuketahui dari Malaikat Kecilku yang Begitu Anggun

Posted by didikharianto pada Desember 25, 2006

Yang tak Kuketahui dari Malaikat Kecilku yang Begitu Anggun

          Sungguh, darinyalah aku menemukan sebuah kedamaian yang jarang dapat kutemui dengan mudah di hidupku yang kini bergulir mendekati angka 20. Darinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun, aku seakan dibawa terbang mengenali betapa agung sebuah perjalanan yang selanjutnya dinamakan kehidupan. Darinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun, aku diajarkan bagaimana melepaskan alas kaki jika akan memasuki altar suci yang dimana semua manusia, siapapun, harus bersuci dulu jika memang akan memasuki ruangan itu. Darinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun, aku diajarkan untuk memaknai hidup yang sungguh bodoh jika harus diakhiri dengan goresan di urat nadi. Darinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun, aku seakan menemukan, inilah hidup.

            Malaikat kecilku yang begitu anggun, ia adalah perempuan muda yang usianya terpaut beberapa tahun denganku, ia lebih muda dariku. Malaikat kecilku yang begitu anggun rambutnya hitam sepinggang. Wajahnya kuning langsat, oval. Bulu matanya lentik. Hidungnya tidak sebegitu mancung. Dagunya agak lancip. Lehernya jenjang. Bentuk tubuhnya langsing, sedikit padat berisi. Buah dadanya agak kecil. Kakinya panjang, agak berjingkat jika berjalan, dan itu juga semakin menegaskan bahwa ia memang malaikat kecil yang begitu anggun, yang memang layak untuk mendapat sanjungan.

Malaikat kecilku yang begitu anggun berbanding terbalik denganku jika berbicara masalah pakaian. Aku yang begitu gemar berpakaian hitam, berbeda sekali dengannya yang amat nampak anggun dengan pakaian putih-putihnya. Pernah, sekali, aku bermimpi, aku melihatnya memakai mahkota yang cahayanya begitu teduh, sama sekali tak menyilaukan mata. Malaikat kecilku juga sering memakai sepatu yang semakin menambah keanggunannya, warnanya juga sama, putih.

            Malaikat kecilku yang begitu anggun sekarang beranjak dewasa. Beberapa saat lalu ia mengirimiku sebuah pesan pendek yang mengatakan jika ia telah menanggalkan seragam putih abu-abunya. Mengetahui itu, aku menjadi semakin asyik dengan kembara imajinasiku. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang sudah kita lakukan bersama. Ketika aku selalu rajin, tak mengenal lelah dan alpa menemui rumahnya ketika fajar belum begitu sempurna, mengantarkannya ke sebuah gedung yang menjadi tempatnya menuntut ilmu. Turun dari kendaraanku, Malaikat kecilku yang begitu anggun tak pernah lupa mencium punggung tanganku dan bibirnya yang mungil itupun akan bergerak lembut mengucapkan, “Terima kasih, Mas…”. Setelah itu, aku pasti menganggukkan kepala sedikit, tersenyum kecil, sembari mengarahkan telapak tangan kananku ke arah kepalanya, mengacak rambutnya perlahan dan kemudian mengucapkan, “Adik belajar yang rajin supaya tidak mengecawakan orang tua, Mas berangkat dulu ya? Mas sayang Adik…”. Dan Malaikat kecilku yang begitu anggun itu pasti berkata lagi, “Ya Mas, Mas juga yang rajin belajarnya, hati-hati di jalan, Adik juga sayang Mas…”. Setelah itu Malaikat kecilku yang begitu anggun tidak akan memasuki gerbang sekolahnya sebelum ia tidak lagi bisa melihatku di pertigaan depan sekolahnya yang konon merupakan Sekolah Menengah Umum terbaik di Kabupaten ini.

            Malaikat kecilku yang begitu anggun seringkali menyemangatiku ketika ia tahu aku memang sedang membutuhkan dukungan. Malaikat kecilku yang begitu anggun selalu hadir, sekedar memberiku wacana jika hidup ini memang tidak semudah yang bisa dilihat. Malaikat kecilku yang begitu anggun adalah sosok perempuan yang memang layak mendapat sanjungan, ia begitu patuh terhadap ayah bunda yang telah menghembuskan nafas untuk melahirkannya ke dunia. Malaikat kecilku yang begitu anggun akan melakukan apapun yang diperintahkan ayah bundanya, meskipun tak jarang itu berseberangan dengan apa yang diinginkannya. Ia memang seorang perempuan penurut.

Pun, dengan rencana yang akan menjodohkannya Malaikat kecilku yang begitu anggun dengan lelaki pilihan ayah bundanya. Secara logika, ini sudah bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Pun juga sudah bukan zaman kuda gigit besi, tapi sudah zaman kuda gigit roti *. Sudah bukan saatnya lagi anak harus dipilihkan jodoh oleh orang tuanya. Tapi, Malaikat kecilku yang begitu anggun sepertinya menolak beranggapan seperti itu. Ia mengatakan, tidak ada salahnya jika seorang anak menuruti kemauan dan juga membahagiakan orang tuanya. Mungkin saja karena memang kultur keluarganya yang berlatar belakang militer yang membentuk pola pikir Malaikat kecilku yang begitu anggun menjadi seperti itu. Membantah, berarti bunuh diri. Bagaimana tidak penuh militerisme, ayahnya adalah seorang Kepala Pos Lalu Lintas di salah satu kecamatan di ujung kabupaten ini, sedangkan ibunya juga merupakan aktifis Bhayangkari (Persatuan Istri Polisi). Aku pernah mendengar jika Malaikat kecilku yang begitu anggun akan dijodohkan dengan salah satu putra dari rekan kerja atau atasan ayahnya. Yang kutahu, ayahnya sering kali mengajak rekan kerjanya (dan yang pasti juga akan mengajak putranya) bersilahturrahmi ke rumahnya, sekedar makan malam atau minum teh sembari temu akrab saja.

            Melanggar atau membantah berarti bunuh diri. Malaikat kecilku yang begitu anggun tidak pernah berani melanggar apa yang telah digariskan oleh ayah bundanya. Jangankan untuk pacaran, untuk masalah telepon saja, lelaki jarang sekali ada yang diperbolehkan untuk menelepon ke rumahnya, kalaupun boleh, pasti akan diinterogasi terlebih dahulu. Aku berani bicara seperti ini, karena aku memang pernah mengalaminya sendiri. Waktu itu aku memang iseng menelepon ke rumahnya dan seperti yang telah kukira sebelumnya, aku diberondong dengan beberapa pertanyaan yang menyangkut hubunganku dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun, ada perlu apa dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun dan beberapa pertanyaan lagi yang sungguh dengan cepat menyedot pulsaku. Untuk meneleponnya saja memerlukan perjuangan yang benar-benar membutuhkan kegigihan, bagaimana jika Malaikat kecilku yang begitu anggun itu akan merangkai kasih sayang dengan lelaki yang dipilihnya? Aku memperkirakan, lelaki yang akan merangkai kasih dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun itu pastilah lelaki yang sangat sabar, telaten dan terakhir, bodoh! Wong sudah tahu orang tuanya tidak akan menyetujuinya kok mekso.

Tapi setahuku, Malaikat kecilku yang begitu anggun juga pernah menaruh hati kepada Jaka, teman karibku, pun sama halnya dengan Jaka, sebenarnya temanku yang sekarang merantau ke Makassar itu juga agak berlebih kepada Malaikat kecilku yang begitu anggun. Tapi, menyadari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika mereka tetap bersikeras akan memadu kasih, akhirnya dua cucu adam dan hawa inipun lebih memilih untuk saling memendam rasa di dalam lubuk hati mereka yang paling dalam. Yang kutahu juga, sebenarnya juga ada beberapa lagi lelaki yang menaruh hati kepada Malaikat kecilku yang begitu anggun, tapi setelah mengetahui “nasib” mereka kelak, mereka memilih mundur perlahan dari Malaikat kecilku yang begitu anggun itu.

            Tapi meskipun begitu, meskipun Malaikat kecilku yang begitu anggun telah sekian lama akrab dengan garis-garis koordinat hidup yang telah digariskan oleh kedua orangtuanya, Malaikat kecilku yang begitu anggun bukannya hidup tanpa masalah. Aku ingat betul ketika Malaikat kecilku yang begitu anggun benar-benar diuji oleh Yang Maha Segalanya. Malaikat kecilku yang begitu anggun sedari kecil memang menderita penyakit Lemah Jantung,  ia juga menderita Anemia, tapi, itu tidak menyurutkan semangat Malaikat kecilku yang begitu anggun untuk tetap beraktifitas, ia memang salah satu aktifis di Gerakan Pramuka yang diikutinya.

Waktu itu, aku mendapat sebuah pesan pendek dari Dinar, temanku semasa di SMP dulu yang sekarang menjadi kakak kelas Malaikat kecilku yang begitu anggun, Dinar mengabarkan kepadaku jika Malaikat kecilku yang begitu anggun di sekolah beberapa jam yang lalu pingsan, tak sadarkan diri dan Malaikat kecilku yang begitu anggun itu dirawat di salah satu Puskesmas yang terletak di dekat alun-alun Kecamatan. Waktu itu, sepulang sekolah, aku, Jaka dan beberapa teman yang berteman baik dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun segera bergegas menuju ke Puskesmas itu. Sesampai disana, beberapa selang infus melekat di tangan lemah Malaikat kecilku yang begitu anggun, Malaikat kecilku yang begitu anggun kemudian berkata seperti ini kepadaku,

“Mas, jika Tuhan ingin mengambilku, kenapa caranya harus seperti ini? Aku disiksa perlahan, tubuhku sakit-sakitan, pun, nilaiku tidak lagi bisa memenuhi keinginanku sehingga aku tdak bisa masuk di Jurusan yang kuinginkan…”

Sebelum Malaikat kecilku yang begitu anggun meneruskan kata-katanya, aku segera mengarahkan jari telunjukku ke arah bibirnya yang waktu itu terlihat putih, pucat pasi. Dan aku segera saja meluncurkan kata-kata penyemangat untuk Malaikat kecilku yang begitu anggun sembari mengusap rambutnya yang masih saja setia mengabarkan wangi. Beberapa hari setelah kesembuhannya, Malaikat kecilku yang begitu anggun mengirimkanku sebuah pesan pendek, isinya, ia berterima kasih atas kehadiran dan dukunganku sewaktu ia tergolek lemah di Puskesmas itu.

            Jarang memikirkan masalah cinta, ditambah lagi dengan tuntutan ayah bundanya yang selalu ingin memberikan yang terbaik untuk putrinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun memilih untuk berkonsentrasi benar ke pendidikannya. Malaikat kecilku yang begitu anggun berangkat ke sekolah pukul enam pagi dan baru pulang pada pukul setengah dua siang ketika matahari baru saja meninggalkan titik kulminasinya. Beristirahat sejenak di kantin sekolah atau lebih memilih “menengok sebentar” organisasi yang diikutinya, Pramuka, untuk kemudian pukul setengah tiga sore berjalan kaki ke tempatnya menuntut ilmu di Bimbingan Belajar yang memang suduh cukup mempunyai nama di seantero Republik ini. Pukul tiga sore sampai waktu Maghrib di ambang pintu, sekitar pukul enam sore, Malaikat kecilku yang begitu anggun menghabiskan waktunya di Bimbingan Belajar yang mayoritas tentornya adalah mahasiswa semester akhir itu. Setelah itu, Malaikat kecilku yang begitu anggun akan pulang, kembali menemui rumah yang seharian tadi ditinggalkannya, mandi, menunaikan kewajibannya, makan malam dan selanjutnya kembali belajar untuk menyiapkan otaknya menghadapi sekolahnya besok. Biasanya Malaikat kecilku yang begitu anggun akan belajar sampai pukul delapan malam saja atau paling malam pukul sembilan. Setelah itu Malaikat kecilku yang begitu anggun akan beranjak mengakrabi tempat tidurnya, merebahkan badan sembari berharap malam ini akan datang sebuah mimpi yang akan mendatangkan kebahagiaan untuknya. Pukul sebelas malam, Malaikat kecilku yang begitu anggun akan kembali membuka dan mempelajari buku-buku pelajarannya, ia memang menyukai suasana malam ketika langit dipenuhi oleh kain-kain hitam yang membentang dan beribu lentera kecil yang warnanya sungguh elok. Malaikat kecilku yang begitu anggun memang telah sekian lama berdamai dengan malam. Tak jarang, karena terlampau asyik bercumbu dengan buku-buku yang dipelajarinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun melewatkan begitu saja masa istirahatnya. Setelah menunaikan ibadah pertamanya, biasanya Malaikat kecilku yang begitu anggun akan kembali mempelajari buku-bukunya.

            19 Juni 2006, pukul 12:11 wib Malaikat kecilku yang begitu anggun mengirimiku sebuah pesan pendek yang sungguh pendek memang, ia hanya menuliskan empat kata, “Alhamsulillah mas adik LULUS”. Selamat Malaikat kecilku yang begitu anggun, engkau sekarang telah menemui sebuah fase baru dalam hidupmu, engkau akan menanggalkan seragam putih abu-abu. Selamat datang di dunia Perguruan Tinggi. Sebuah lingkungan yang akan mencetak intelektual-intelektual yang akan merubah dunia, mencetak aktifis kampus yang sarat dengan idealismenya yang akan merubah birokrasi pemerintahan yang kadung bobrok ini dan sebuah institusi yang akan mampu juga mencetak manusia-manusia konsumtif  nan kapitalistik yang akan membangun surganya sendiri di dunia ini. Aku ingat benar jika Malaikat kecilku yang begitu anggun akan meneruskan pendidikannya di Fakultas Kediokteran, di salah satu kampus di kota ini, sesuai “tradisi” yang ada di keluarganya.

            Meskipun secara biologis aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun, tapi, apa yang tak kuketahui darinya? Aku memang bukan kakak sepupu dari Malaikat kecilku yang begitu anggun, apalagi kakak kandungnya. Bukan, aku memang bukan siapa-siapanya! Aku dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun awalnya memang hanya berteman saja, tidak mempunyai hubungan lebih apapun. Tapi, mungkin karena perhatian yang kucurahkan untuk Malaikat kecilku yang begitu anggun yang terkadang mudah sekali rapuh memandang hidup, pun mungkin juga karena Malaikat kecilku yang begitu anggun yang merasa nyaman mempunyai teman sepertiku hingga akhirnya diantara kami masing-masing memperbolehkan memanggil satu sama lain dengan sebutan “Mas” dan “Adik”. Karena nama panggilan itulah, paling tidak aku mempunyai “tanggung jawab moral” kepada Malaikat kecilku yang begitu anggun. Dengan kata lain, aku sebagai “kakak” harus bisa mengerti jika aku kini mempunyai seorang “adik”, paling tidak, aku harus menjaga adikku, itu saja…

            Sekali lagi, sebagai orang yang “biasa” saja, apa yang tak kuketahui dari Malaikat kecilku yang begitu anggun? Tapi kemudian, aku memang harus mengakui jika ada satu hal yang tak kuketahui dari Malaikat kecilku yang begitu anggun. Hari itu, hari selasa, ketika aku masih asyik menikmati letihku di kamar kos yang tinggal tiga hari saja kutempati ini Malaikat kecilku yang begitu anggun menelepon ke berhala kecilku, ia minta didampingi untuk menemukan salah satu gedung di kampusku tempat ia akan mengembalikan formulir SPMB. Segera saja aku mengambil tas punggungku dan melangkahkan kaki ke kampus. Sesampai di kampus, aku segera menghubungi Malaikat kecilku yang begitu anggun,

“Maaf mas, aku udah berhasil menemukan gedung A2…” Jawab Malaikat kecilku yang begitu anggun ketika kutanya posisinya saat itu,

“Ya sudah kalau begitu, tepatnya, adik dimana sekarang? Supaya mas bisa nemenin gitu…” Tanyaku sekali lagi,

“Aduh gak usah deh, maaf banget mas, aku sekarang sedang bersama kekasihku, emm, sebenarnya bukan kekasihku sih, dia cuma adiknya, tapi aku beneran gak enak sama dia, aku takut dilaporin sama kakaknya, kekasihku. Gak papa kan, mas? Mas gak marah kan ma adik?” Jawab Malaikat kecilku yang begitu anggun, kali ini suaranya terdengar agak menghiba,

“Oh, gak kok, mas gak marah, ya sudah, have a nice day ya? Sampaikan salam mas kepada kekasih adik. Merdeka!” Segera kujauhkan berhala kecilku dari telingaku masih dengan mengernyitkan dahi seakan tak percaya dengan kenyataan yang baru saja kudengar.

Yang tak kuketahui dari Malaikat kecilku yang begitu anggun adalah ia telah mempunyai kekasih sekarang, seseorang yang dulu pernah amat sangat “haram” ada di pusaran kehidupannya.

 

 

 

 

Malang, 27 Juni 2006, di salah satu sudut kampus Universitas Negeri Malang,

Untuk Malaikat kecilku yang begitu anggun, Ninik Sri Wachyuningsih.

 

Catatan : *  Diambil dari salah satu bait dalam lirik lagu yang berjudul “Oya Mama… Oya Papa” Tani Madjoe Band, -Insya Allah- terdapat dalam album kedua “SERBU (SERba lima belas riBU)”.

Posted in Cerpen | 2 Comments »

Seseorang yang Sebenarnya Kuharapkan

Posted by didikharianto pada Desember 25, 2006

Seseorang yang Sebenarnya Kuharapkan

        Hanya ada tiga syarat (yang menurutku) klise agar seseorang bisa mempunyai hubungan lebih denganku, dan ini berlaku untuk siapapun. Pertama, seseorang itu harus sayang kepadaku, itu mutlak. Kedua, seseorang itu harus bisa mengerti aku. Mengerti disini bukan hanya mengerti jika aku memang menjadi idola semua lelaki di kampus. Tapi mengerti semuanya, dengan kata lain, aku tidak suka dikekang. Dan terakhir, seseorang itu harus bisa menerimaku apa adanya, seutuhnya. Tidak hanya memuja kelebihanku, tapi juga harus bisa menerima kekuranganku. Syarat kedua dan ketiga itu pun sama sifatnya, mutlak! Tapi aku tidak tahu kenapa, aku sulit sekali menemukan seseorang yang memang benar-benar kuharapkan itu. Padahal menurutku, tiga syarat tadi tidaklah terlalu sulit. Cuma menyayangiku, pengertian dan menerimaku apa adanya, itu saja.

            Kuakui, aku memang sedikit introvert. Jangankan untuk bergaul dengan teman sebaya di kanan kiri rumah, di dalam rumah saja aku lebih suka mengurung diri di kamar, membaca novel sambil mendengarkan winamp. Aku keluar kamar hanya untuk makan dan sekolah saja. Dan kebiasaan itu tetap saja tidak berakhir meskipun aku diharuskan menjalani sebuah fase baru dalam hidupku, aku harus kuliah di luar kota. Di kosku, aku juga jarang sekali bergaul dengan penghuni kos lainnya, aku lebih memilih pergi ke warung internet, aku mempunyai friendster, dari situlah aku mempunyai banyak teman. Di dunia nyata, sebenarnya banyak lelaki yang menghamba, mengemis cintaku. Tapi kebanyakan dari mereka hanya memuja kelebihanku, aku memang cantik, kaya dan yang lebih membuat mereka tertarik kepadaku, aku mempunyai tubuh yang seksi. Tapi setelah mereka mengetahui diriku sebenarnya, mereka lebih memilih mundur perlahan, kemudian meninggalkanku. Itu artinya kebanyakan lelaki yang ingin mempunyai hubungan lebih denganku tidak dapat memenuhi syarat terakhir dariku. Karena kebanyakan lelaki tidak dapat memenuhi syarat terakhir itu, aku sempat berpikir jika aku harus menghapus saja syarat terakhir itu. Tapi, tidak! Aku tidak boleh menghapusnya, jika aku menghapusnya, lelaki yang kelak menjadi pendampingku pasti hanya akan menikmati kelebihanku saja dan tak menginginkan adanya kekurangan dariku, dan aku tidak ingin hal itu terjadi padaku!

*******

            Ketika berada dalam masa-masa seperti ini, masa-masa dimana aku merasakan hidupku benar-benar sepi, aku biasanya lebih memilih pergi ke warnet. Jika sedang banyak tugas kuliah, aku lebih memilih mencari literatur yang berhubungan dengan tugasku di Google, jika tidak, aku biasanya hanya memeriksa dan mengirim e-mail ke teman-temanku, dan satu lagi yang menjadi ritual wajibku, membuka friendsterku. Di friendster, aku mempunyai beberapa teman yang tentu saja berasal dari bermacam kota di Indonesia. Tapi kebanyakan latar belakang teman dunia mayaku sama denganku, mahasiswa. Aku ingat ketika aku pertama kali mendaftar friendster, aku ingin mendapatkan teman sebanyak-banyaknya dan akhirnya, aku berharap aku akan mendapatkan seseorang yang benar-benar kuharapkan dari sana. Tapi seperti nasibku di dunia nyata, di dunia maya pun aku sulit sekali mendapatkan seseorang yang benar-benar kuharapkan. Jika di dunia nyata, kebanyakan lelaki yang mengharapkan hubungan lebih denganku tidak dapat memenuhi syarat ketiga dariku, itu tidak terjadi di dunia mayaku. Jangankan untuk memenuhi syarat ketiga dariku, untuk syarat kedua saja tidak ada seorang pun yang ingin mencoba. Kebanyakan teman dunia mayaku hanya bisa memenuhi syarat pertama dariku, mereka menyayangiku, tapi tataran sayang dari teman dunia mayaku hanya sebatas “teman” saja, mereka sepertinya tidak ingin mempunyai hubungan lebih denganku. Padahal, di friendsterku sengaja kutaruh foto yang menurutku foto diriku yang paling cantik. Tapi, kenapa aku tetap saja sulit menemukan seseorang yang memang benar-benar kuharapkan?

            Aku sempat bertanya kepada diriku sendiri, jika memang seseorang yang benar-benar kuharapkan itu tidak akan pernah datang, apakah aku dengan segala egoku akan tetap (mencoba) menjalani hidupku yang akan semakin akrab saja dengan kesendirian? Kemudian, jika memang sudah tidak ada lelaki lagi yang ingin menjadi kekasihku, akankah aku harus mendustai takdirku? Akankah aku akan memilih merangkai hari menebar kasih sayang dengan sesama perempuan? Tiga pertanyaan yang sungguh sulit jika aku diharuskan untuk menjawabnya, meskipun jauh di kedalaman palung hatiku, aku sudah mempunyai jawaban untuk tiga pertanyaaan itu.

*******

            Terima kasih Tuhan, setelah sekian lama aku merindukan kehadiran seseorang yang benar-benar kuharapkan, kini aku sudah menemukan seseorang yang bisa memenuhi tiga syarat yang kuberikan. Ya, aku sudah mempunyai seorang kekasih yang tentu saja menyayangiku, pengertian dan bisa menerimaku apa adanya. Karena kehadirannyalah, aku tidak merasakan lagi sepi di hariku. Aku semakin bersemangat menjalani rutinitasku yang dulu terkesan membosankan. Kehadirannya benar-benar bisa membuat hidupku berbalik seratus delapan puluh derajat, tidak seperti ketika aku belum berkenalan dan menjadi kekasihnya. Tapi sesungguhnya masih ada satu hal yang mengganjal di hatiku, aku ingin seperti kebanyakan pasangan lain yang kemana-mana bisa bermesraan, bisa jalan-jalan berdua, makan malam berdua, pergi dan pulang kuliah berdua. Aku dengan kekasihku, seseorang yang benar-benar kuharapkan, yang kukenal dari friendster, memang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Aku di Malang, sedangkan kekasihku sedang menimba ilmu di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Tapi tidak masalah, menjalani hubungan jarak jauh bagiku merupakan sebuah “keasyikan” tersendiri, paling tidak, dengan begitu aku diharuskan untuk semakin menguatkan hatiku agar tidak tergoda oleh orang lain. Hubungan jarak jauh bagiku juga mengajarkan bagaimana menjaga kepercayaan dari kekasihku dan menjaga monumen cinta yang telah kita bangun bersama.

            Baru saja kekasihku meneleponku, bulan depan setelah Ujian Akhir Semester ia akan menemuiku, aku memberikan alternatif kepadanya agar kita menghabiskan hari di kawasan Batu saja, karena setahuku, di sana banyak tempat romantis, kekasihku setuju dengan saranku.

*******

            Siang ini, aku letih sekali, kupilih untuk tidur-tiduran saja di kanar, semalam aku ngenet mulai jam 22:00 sampai 06:00. Kulirik jam mungil yang melingkar di tangan kiriku, pukul 11:00. aku terbangun ketika berhala kecilku menyanyikan F*#kin Girlnya Tani Madjoe Band, itu berarti ada pesan pendek yang masuk. Mataku masih memicing ketika jemariku dengan cekatan menekan beberapa tombol dan kubaca,

            From: Devy_Chayank

            Deva sayang… ni Devy sdh mpe kwsn Arjosari,

            Sesuai kspktn, qt hr ni jd ke Batu ya?!

            Deva sdh mndi kan? Devy sayang Deva, I Love You Honey…

Astaga, aku lupa, aku ada janji dengan Devy Putri Pratiwi, kekasihku, seseorang yang sebenarnya kuharapkan…

 

Untuk Deva Ichigo Shiro Oyama,

Jalan kita masih panjang, kawan…

Posted in Cerpen | 1 Comment »

Psikolog yang Menerima Tamu Aneh

Posted by didikharianto pada Desember 25, 2006

Psikolog yang Menerima Tamu Aneh

Sampai istirahat siang telah usai, orang yang berkonsultasi ke tempat praktikku baru satu orang, yaitu seorang mahasiswi Sastra Jerman semester dua, yah, biasalah masalah remaja yang tidak akan pernah bisa jauh dari urusan cinta. Siang ini sengaja aku tidak menjemput putri kesayangan semata wayangku, baru saja aku mengirimkan sebuah pesan pendek untuknya, kubilang aku tidak bisa menjemputnya karena aku letih sekali, punggungku serasa lepas dari gugusan tubuhku, pun juga kakiku, kepalaku pening. Kurebahkan perlahan tubuhku di atas kursi praktikku, sambil sesekali mengingat curhat mahasiswi yang mengaku bernama Gigih, sama persis dengan nama putriku, ia mengaku kuliah di salah satu universitas negeri terkemuka di kota ini, ia bercerita tentang pacarnya yang terlalu sibuk berorganisasi atau bisa dikatakan aktifis kampus, waktunya lebih sering digunakan untuk mengurusi Lembaga Pers Mahasiswa yang diikutinya, kata Gigih, pacarnya itu adalah anggota LPM dan memegang jabatan sebagai Pimpinan Redaksi, sehingga, Ian -pacar Gigih- mempunyai waktu yang sedikit untuknya, pun ketika sedang berdua saja, Ian jarang sekali mengajaknya ngobrol, ia lebih suka menulis, entah menulis puisi, prosa atau apapunlah namanya yang berhubungan dengan dunia tulis menulis, sepertinya, Gigih tidak sebegitu berharga di hadapan Ian. Setelah Gigih selesai mengutarakan semua permasalahannya, aku baru memberinya saran, aku mengatakan bahwa dalam setiap hubungan itu harus berlandaskan pengertian dan dukungan. Jika pacarnya adalah salah satu anggota LPM, maka sebaiknya Gigih harus mendukungnya, toh, bergabung dengan LPM adalah sebuah tindakan positif, apalagi dengan hoby pacarnya yang gemar menulis, itu juga merupakan hoby yang positif, sudah seharusnyalah Gigih mendukungnya, memberinya surprise mungkin akan agak sedikit bisa melumerkan hubungan mereka yang terkesan kaku, tanpa sepengetahuan Ian, selipkan buku terbaru dari penulis muda Indonesia Dewi Lestari yang berjudul Filosofi Kopi di tas kuliahnya sembari selipkan satu kertas kecil saja bertuliskan “Aku Sayang Kamu”, maka, pasti Ian akan semakin sayang ke Gigih. Setelah itu, sepertinya Gigih kembali menemukan “hidup”nya dan ia berjanji akan melakukan semua saranku.

            Setelah kepergian Gigih yang diiringi sebuah senyuman yang menyungging di pojok bibirnya, aku kembali stand by dengan posisi santai, tak ada yang bisa kulakukan sekarang kecuali “menikmati” letihku, kuraih sebuah koran yang sepagi tadi diantar tepat waktu oleh loper koran berbaju rompi biru dan bersepeda kayuh, kubaca halaman pertama, aku cukup kaget ketika membaca dan mengamati kronologis kejadian kaburnya narapidana mati kasus pembunuhan berencana yang nampaknya dilakukan dengan amat sangat mudahnya, bagaimana tidak, untuk bisa keluar dari terali besi yang mengurungnya, sedikitnya tahanan itu harus melewati tiga lapis penjagaan sipir penjara, setelah itu baru melewati pos keamanan utama atau kalau tidak, ia harus memanjat tembok penjara yang tingginya mencapai tujuh meter dan merusak kawat berduri yang terpasang melingkar di penjara itu, setelah itu ia harus meloncat tembok penjara, sungguh, bukan merupakan hal yang mudah dilakukan oleh tahanan yang sudah berusia kepala empat itu, suudzonku bermain, aku yakin sekali jika kaburnya tahanan itu pasti melibatkan oknum penjara, bukankah tahanan itu adalah orang berduit dan berpengaruh di negeri ini, dengan uang, ia akan mendapatkan segala apa yang diinginkannya, jangankan kabur dari penjara, membeli pulau pun kuyakin ia mampu. Mungkin ini adalah hobynya yang sekian lama dilakoninya, bagaimana tidak, ia seringkali kabur dari tahanan, tercatat ia sudah kabur sebanyak tiga kali. Ah, sudahlah, apa gunanya aku mengurusi orang lain, wong mikirkan diriku sendiri saja masih gak nggenah. Aku bosan, kuputuskan untuk menutup saja tempat praktikku, kubalik plakat di balik kaca depan tempat praktikku, semula “BUKA/OPEN”, kubalik menjadi “TUTUP/CLOSE”. Sejenak setelah kupandangi plakat tempat praktikku seraya tersenyum akupun masuk ke mobilku, kubiarkan saja roda mobilku berputar cepat menggilas aspal jalanan kota. Tak biasanya kupacu mobilku secepat ini. Ahh..biar saja. Aku hanya ingin merasakan angin menghempas seluruh penatku. Membawanya jauh hingga raga ini tak mungkin merasakannya lagi. Biarkan angin dengan egonya, menerpa apa saja yang ia ingin terpa.

Kembali kucumbui tempat kerja yang telah sekian tahun menjadi penghasilan utamaku, sebenarnya aku bisa saja tak usah kerja keras, toh suamiku juga bekerja, malah gajinya lebih besar dariku, maklum saja, ia seorang pengembang Real Estate, kenapa aku suka sekali dengan pekerjaan ini? Aku paling tidak suka diam, aku bosan di rumah jika waktuku hanya kuhabiskan dengan bangun jam delapan pagi, kemudian memesan fast food, ke fitness centre, shopping ataupun arisan mungkin? Setelah itu menghabiskan waktu di salon hanya untuk medicure, pedicure atau “hanya” merawat kuku saja kemudian tidur lagi, aku paling tidak suka seperti itu. Selain itu, ijazah dan gelar Sarjana Psikologiku akan sia-sia saja jika aku tidak membuka tempat praktik ini, pagi ini tepat jam sembilan ketika aku mulai duduk di kursi hitamku yang sedari kubuka tempat praktik ini belum pernah kuganti, pelan kusandarkan tubuhku, mataku menerawang, mengingat banyaknya warna-warna yang telah menghiasi hidupku selepas aku menamatkan Strata satu dan duaku di salah satu kampus di kota ini, aku sempat bekerja sebagai pengasuh rubrik “Psikologi” di salah satu koran pagi di kota ini, selama satu setengah tahun bekerja di situ, aku mulai jengah, kuputuskan untuk mengajukan lamaran pekerjaan di salah satu perusahaan rokok berskala nasional di kota ini, aku melamar untuk posisi “HRD Manager” karena masih ada hubungannya dengan disiplin ilmu yang pernah kupelajari, alhamdulillah, setelah satu tahun akupun berhasil menduduki jabatan sebagai “Kabag Personalia”, di perusahaan rokok itulah aku bertemu dengan seorang lelaki, ia biasa kupanggil Mas Pram, lelaki itulah yang kini jadi suamiku, waktu itu suamiku masih menduduki jabatan sebagai Manajer Keuangan, setelah delapan bulan menjalin hubungan, orang tua kami setuju, kamipun menikah. Kebahagiaan kami semakin lengkap setelah setahun aku berumah tangga dengan suamiku, aku dikarunia putri yang selanjutnya kuberi nama Gigih Gita Pramukti, ia sekarang duduk di kelas tiga SMU, putriku tumbuh sebagai remaja yang periang, semakin bahagialah hidupku, sempat terpikir ingin menambah anak lagi, tapi yah.. mungkin karena kesibukanku dan suami yang menbuat kita jarang bersama di rumah, akhirnya, rencana untuk menambah anak kubatalkan, atau mungkin lebih tepatnya kutunda, kalau Tuhan masih ngasih, alhamdulillah, kalau tidak, ya gak papa. Sewaktu masih asyik mengingat-ingat perjalanan hidupku, aku dikejutkan dengan kedatangan seorang tamu laki-laki di tempat kerjaku, ia nampak tergesa-gesa, tapi sepertinya ada yang aneh dengan tamuku kali ini, aku bisa melihat dengan jelas jika kumis yang terpasang di atas bibirnya adalah palsu, belum lagi kacamata hitam yang baru dibukanya ketika ia memasuki ruanganku, jaket kulit warna hitam yang selalu dipakainya,  pun juga dengan topi softball yang menutupi kepalanya, ia memakai celana jeans kumal, sepatu kets putih, dan kaos hitam, ia langsung duduk di kursi depan meja kerjaku,

“Mbak bisa jamin kerahasiaan saya?”

Tanyanya seraya menatap lekat kedua mataku, aku yang masih bermain dengan segala heranku, dengan sedikit tergagap menjawab pertanyaannya.

“Bbb..bbisa”

Lelaki itu mengulang kembali pertanyaannya.

“Mbak bisa jamin kerahasiaan saya?”

Setelah agak mampu mengusai diri, aku menjawab dengan sedikit tenang.

“Bisa, kalau boleh tahu, bapak siapa dan ada perlu apa?”

Lelaki itu membetulkan posisi duduknya, sekarang ia semakin merapat ke meja.

“Sebaiknya mbak tidak perlu banyak tahu mengenai jati diri saya, saya kesini, jelas, saya ingin konsultasi psikologis dengan mbak, mbak kan seorang psikolog, mana mungkin saya mau memesan nasi goreng? Nama saya Cecep Tri Santoso.”  Kata lelaki itu semakin membuat heranku menggunung.

“Oke, bapak mau konsultasi apa? Dengan senang hati saya akan mendengar dan memberi solusi semampu saya.” Jawabku dengan tetap waspada sepenuhnya terhadap tamuku kali ini, sekali lagi ia mengulang pertanyaan pembukanya tadi.

“Mbak bisa jamin kerahasiaan saya?”

Sedikit emosi, kuulang jawabanku yang tadi.

“Bisa.”

Tenang, lelaki itu bercerita kepadaku.

“Mbak jangan kaget, mbak pasti sudah mengetahui kabar kaburnya Gunawan Santoso, terpidana atas pembunuhan berencana Dirut PT ASABA, Beedyharto Angsono dan pengawalnya Serka Edy Siyep, pekerjaan saya dulu adalah sipir penjara di LP Cipinang,  kebetulan saya adalah sipir di Blok C, tempat Gunawan ditahan. Ia menghentikan sejenak ceritanya, ia mengahadap ke langit-langit sambil menghirup nafas dalam-dalam, ia kembali matapku,

“Dan saya adalah aktor utama dibalik kaburnya Gunawan Santosa.” ujarnya tenang seakan tanpa perasaan bersalah.

Aku sedang berhadapan dengan buronan Mabes Polri, tenang, tenang, tenang dan tetap tenang. Aku mensugesti diriku sendiri, berusaha membuat diriku biasa saja menghadapi tamuku kali ini.

“Lalu?” Tanyaku singkat.

“Saya tahu, saya sedang dalam Daftar Pencarian Orang Mabes Polri, saya sedang dikejar oleh semua jajaran kepolisian di negeri ini terkait kaburnya Gunawan Santosa, tidak ada pilihan lain bagi saya selain pergi jauh meninggalkan Jakarta, dan sekarang saya berada di Malang, dengan begitu bukan berarti saya bisa lolos dari kejaran polisi, saya tahu, polisi disini juga pasti berusaha mencari tempat persembunyian saya, saya bingung, apa saya harus terus-terusan kabur seperti ini? Di satu sisi, saya juga teringat anak istri saya, mereka pasti sangat mengkhawatirkan keadaan saya, sekarang, ruang gerak saya semakin sempit, saya tidak berani lagi mengaktifkan ponsel saya, pun dengan rekening saya yang sudah diblokir oleh pihak bank. Apa sebaiknya saya menyerahkan diri saja? Bunuh diri? Atau bagaimana?” Tanyanya setelah panjang lebar menceritakan siapa sebenarnya jati dirinya, ia semakin terlihat lemas.

“Pak Cecep, hidup adalah pilihan, saya teringat perkataan seorang filosof Rusia, ia berkata seperti ini, takdir itu tidak ada, manusialah yang menciptakan takdirnya sendiri, dan sekarang Pak Cecep sedang berada di posisi dilematis, meskipun itu juga akibat perbuatan Pak Cecep sendiri, Pak Cecep tahu, perbuatan meloloskan tahanan negara adalah perbuatan yang salah, tapi mungkin karena Pak Cecep tergiur dengan besarnya uang yang akan Pak Cecep terima setelah ikut andil meloloskan Gunawan maka Pak Cecep pun akhirnya memutuskan memilih jalan itu. Tapi, semua telah terjadi, sekarang bukan lagi waktunya menyesali apa yang Pak Cecep lakukan tempo hari, semua telah terjadi, pak. Menurut saya, ada baiknya jika Pak Cecep menyerahkan diri saja kepada pihak yang berwajib, itu mungkin adalah opsi yang terbaik, daripada Pak Cecep terus-terusan kabur seperti ini? Terkurung dalam perasaan bersalah? Selalu saja phobia dengan manusia berseragam coklat tua. Toh, saya yakin jika suatu saat polisi pasti bisa menemukan tempat persembunyian Pak Cecep, bukankah sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya ia akan jatuh juga, iya kan? Jika Pak Cecep memilih opsi menyerahkan diri kepada polisi, keluarga Pak Cecep akan tenang meskipun mereka akan bersedih, Pak Cecep juga tidak akan lagi dikejar-kejar perasaan bersalah, hidup Pak Cecep akan tenang meskipun nantinya Pak Cecep akan menghabiskan hari di balik terali besi. Itu mungkin lebih baik menurut saya daripada Pak Cecep  harus bunuh diri, bukankah bunuh diri itu adalah perbuatan yang paling tidak disukai Tuhan? Tapi sekarang, pilihan ada di tangan Pak Cecep, saya hanya bisa membantu sebatas itu…” Jawabku seraya memposisikan tubuh, intonasi dan gaya pembicaraanku setenang mungkin.

Tamuku itu sekarang memandang ke arah tumpukan koran yang kutata rapi di salah satu sudut ruanganku, lama ia menatapnya, seakan ada sesuatu yang sangat berarti disitu, tak ada yang dilakukannya sekarang, ia masih terus saja menatap tumpukan koran itu, dan akhirnya ia pun berbicara.

“Terima kasih atas solusi mbak, ya, mungkin sudah saatnya dan sebaiknya jika saya menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib saja, sudah saatnya saya akhiri petualangan  ini, tapi, untuk terakhir kalinya, mbak bisa jamin kerahasiaan saya kan?”

“Pasti…” jawabku singkat sembari menganggukkan kepala.

 

 

 

 

 

***

 

                Pagi ini, tepat setelah tiga hari aku menjumpai tamu aneh di ruang kerjaku, aku memasuki ruang kerjaku ketika jarum-jarum kecil di tempat praktikku menunjukkan angka sembilan dan sepuluh kumulai hariku dengan penuh keceriaan, aku senang sekali, semalam suamiku telepon, hari ini ia akan pulang, pun juga setelah melihat nilai try out putriku semata wayang, Gigih, yang mendapat nilai sempurna untuk dua mata pelajaran yang akan diujikan pada Ujian Naional pertengahan bulan ini, kubaca koran yang telah ada di atas meja kerjaku, kubaca headlinenya, disitu tertulis jelas, Sipir Pembantu Lolosnya Gunawan Santosa Ditemukan Meninggal di Sungai Brantas. Aku segera membaca berita di sebelah foto yang menggambarkan sebuah mayat tertelungkup dengan memakai pakaian yang sama persis dengan tamuku tiga hari yang lalu. “Diduga karena tidak kuat menahan beban mental yang begitu berat setelah membantu lolosnya Gunawan Santosa. Sabtu 13 Mei 2006 mayat Cecep Tri Santoso ditemukan mengambang di aliran sungai Brantas di belakang Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang…” Ah, aku tidak mampu melanjutkan membaca berita itu, kepalaku pening, pandanganku seketika itu pula kabur, kemudian menghitam…….

Posted in Cerpen | Leave a Comment »

Perempuan yang Sedari Tadi Kuamati

Posted by didikharianto pada Desember 25, 2006

Perempuan yang Sedari Tadi Kuamati

           Tidak ada yang dilakukannya sekarang, hanya menunduk, sambil sesekali menutup wajahnya. Sebenarnya, aku amat sangat ingin mengetahui apa yang sedang dilakukannya. Wanita berjilbab putih itu tetap saja tidak mau mendongakkan kepalanya, hanya sepasang kakinya yang mungil saja yang nampak digerak-gerakkan, gerakannya begitu lembut, tak jarang gerakan itu membentuk sudut 180 derajat. Wanita berjilbab putih itu masih terduduk di sebuah bangku putih panjang, ia tetap tak bergeming, diam. Kedua tangannya masih memegangi tepian bangku yag terbuat dari kayu itu. Sesekali terdengar helaan nafasnya membesar, kemudian nafas itu dilepaskannya perlahan, sepertinya ia menanggung beban yang sangat berat.

            Jika aku boleh memperkirakan statusnya, ia pasti seorang mahasiswi, usianya, ia pasti berusia sekitar duapuluh tahunan, wajahnya putih bersih, cocok sekali dengan jilbab yang ia kenakan, ia memakai kaos hitam sedikit ketat sehingga beberapa bagian tubuhnya terlihat menonjol, ia juga memakai jaket, jaketnya berwarna merah hati dengan garis-garis putih di bagian lengannya. Untuk celana, ia memakai celana hitam yang sama dengan kaos yang dikenakannya, agak ketat. Sepatu Sneaker putih menghiasi kakinya.

            Ia masih tetap saja menundukkan kepalanya, kali ini ia memindahkan tas yang sedari tadi dicangklongkan di pungggungnya ke pangkuannya. Sejurus kemudian ia memandang kearah pintu, ah… tetap saja aku tidak bisa memaknai pandangannya itu, pandangan kedua mata itu nanar, kosong. Kali ini tangan kanannya dikepalkan, kemudian ditaruhnya pelan di bawah dagunya. Matanya tetap saja tidak pernah terlepas dari kedua pintu yang terbuat dari besi itu. Ia memejamkan mata, sedetik, dua detik, tiga detik, makin rapat saja pejaman mata itu. Kerut-kerut di pangkal matanya yang semakin menajam menandakan itu. Akhirnya mata itu membuka, perlahan, mata itu nampak bening, ada sekumpulan air di kelopak matanya yang siap menganak sungai di pipinya jika ia kembali memejamkan mata. Mata itu memejam lagi, dan tak ayal air-air bening itu pun akhirnya turun. Sebenarnya apa yang dirasakan wanita itu sehingga ia menangis?

            Aku masih tidak beranjak dari kursi kayu tempatku duduk di ruang tunggu yang semakin sepi ini, kulihat jam yang melingkar di tangan kiriku menunjukkan pukul tiga sore. Kukirim sebuah pesan pendek kepada perempuanku, Gigih. Kubilang aku sekarang tidak bisa menemuinya di rumahnya, karena aku masih harus mencari berita. Memang, kesibukanku sebagai wartawan magang di sebuah surat kabar lokal di kota ini mau tidak mau menyita sebagian waktuku. Tapi tak apalah, demi cita-citaku sebagai wartawan profesional, ya, wartawan profesional, semua ini harus kujalani, tak peduli apapun konsekuensinya.

         Aku masih terus mengedarkan pandangan ke arah wanita itu. Jika ia balik memandangku, aku pura-pura mengalihkan pandangan, memandang ke arah taman, berpura-pura membaca atau apapunlah supaya wanita itu tidak tahu jika aku sedang memperhatikannya. Wanita itu masih menunduk ketika berhala kecil yang disimpan di saku celana bagian kanannya berbunyi, mendendangkan lagu Tuhan milik Tani Madjoe, sebuah band lokal dari kota ini. Dengan gerakan yang lemah ia berusaha mengambil berhala kecilnya, setelah berhasil, aku bisa melihat jika berhala kecilnya memang tampak berkedip, menandakan ada sebuah panggilan dari seberang sana. Lama ditatapnya layar berhala kecilnya, sedetik, dua detik ia masih belum menekan satu tombol pun di keypad ponselnya, dan kedipan itu pun sekarang berhenti. Tak ada satu cahaya pun sekarang di layar berhala kecilnya. Ia masih memegangi berhala kecilnya ketika kedipan di layar itu kembali muncul. Kini dengan sedikit cepat ia mendekatkan berhala kecil itu ke arah telinganya yang tertutup jilbab putih itu sambil beranjak dari bangku tempatnya duduk, ia kini berdiri membelakangiku. Tapi meskipun begitu, aku masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan wanita itu,

            “Assalamualaikum…”

            “Ya tante, saya sudah berada di sini…”

            “Sendirian saja…”

            “Saya baik-baik saja, cuma, saya minta doanya saja supaya tidak terjadi apa-apa dengan Indra. Saya khawatir sekali dengan keadaannya…”

            “Apa? Tante mau kesini sekarang? Ya sudah, tidak apa-apa tante, tapi hati-hati ya di jalan tante sama om. Sore sudah semakin menua…”

            “Ya, saya tidak apa-apa kok, tante tenang saja… tapi, ya itu tadi, sekali lagi saya minta doanya saja supaya tidak terjadi apa-apa dengan Indra. Saya khawatir sekali dengan keadaannya…”

            “Ya tante…”

            “Sore, Wa’alaikumsalam warahmah…”

setelah mendapat telepon itu, wanita itu kembali duduk, ia kembali menundukkan kepalanya, telapak tangannya sekarang digunakan untuk menutupi wajahnya. Nampaknya ia mencoba tegar dengan apa yang dialaminya sekarang, tapi wanita itu sekali lagi tidak bisa menahan jatuhnya air bening dari sudut mata ke pipinya. Pipinya nampak mengkilap, dibasahi air bening yang baru saja terlahir. Perlahan, ia membuka resleting tasnya dan merogohkan tangannya ke dalam, ia mengambil sebuah bungkusan yang tak kuketahui jelas apa isinya. Oh, ia mengambil sebuah tissue, tissue itu kemudian digunakannya untuk menyeka pipi dan matanya yang basah itu. Setelah selesai, ia memasukkan lagi bungkusan tissue yang tersisa ke dalam tasnya, sedangkan tissue yang tadi digunakannya tetap disemayamkan di tangan kanannya, sesekali ia menggunakan tissue itu untuk menyeka kedua matanya. Setelah kurang lebih lima kali sekaan, wanita itu berdiri, ia menghampiri tong sampah yang kira-kira terletak empat meter dari tempatnya duduk.

            Kurang lebih setengah jam setelah mendapat telepon itu, ruang yang sudah semakin akrab dengan sepi ini kedatangan tiga orang, satu, seorang lelaki paruh baya, kedua, perempuan yang juga sudah berumur, dan yang terakhir adalah seorang perempuan muda yang kutaksir umurnya adalah sebaya dengan pelajar kelas dua SMU. Lelaki paruh baya itu memakai busana batik, khas orang jawa. Perempuan yang sepertinya istri dari lelaki itu pun sama, memakai busana khas jawa, kebaya. Sedangkan, perempuan yang paling muda itu memakai pakaian yang agak membuatku ngiler, ia memakai celana jeans biru ketat yang dilipat bagian bawahnya, khas anak muda zaman sekarang, dan memakai kaos hitam yang sama ketatnya. Kedatangan tiga orang itu serta merta membuat perempuan yang kuperhatikan sedari tadi itu beranjak dari tempat duduknya, ia sekarang berdiri dan selanjutnya bersalaman sambil mencium tangan kedua paruh baya itu, sedangkan kepada perempuan muda itu ia lebih memilih cipika cipiki. Setelah kedatangan tiga orang itu, perempuan yang sedari tadi kuamati itu mengambil posisi paling kanan dari rombongan keluarga itu. Tepat di sebelahnya, perempuan paruh baya itu duduk, di sebelahnya ada perempuan yang paling muda diantara  mereka yang sedari datang tadi sibuk dengan berhala kecilnya. Sedangkan lelaki paruh baya tadi, duduk paling tepi diantara mereka. Aku bisa mendengar sesenggukan yang terlahir dari perempuan yang sedari tadi kuamati itu, ia sekarang memeluk perempuan paruh baya yang nampak anggun itu sambil menenggelamkan wajahnya. Perempuan paruh baya itu nampak bijaksana, sabar dan tegar, itu bisa terwakili dari apa yang diucapkannya. Dengan wajah dan gerak tubuh penuh keibuan, dengan mesra perempuan paruh baya itu memeluk mesra perempuan yang sedari tadi kuamati itu, ia berulang kali mengusap rambut perempuan yang sedari tadi kuamati itu sambil sesekali mencium kepala perempuan muda itu. Sambil sedikit berbisik, perempuan paruh baya berulang kali mengucapkan kat-kata penyemangat untuk perempuan muda itu. Sekitar setengah jam kedua hawa itu saling mencoba berpengertian satu sama lain. Kini, lelaki paruh baya yang mencoba sedikit menghibur perempuan yang sedari tadi kuamati itu. Tapi, seperti kebanyakan kaum adam yang tak pandai bersilat lidah, lima menit saja lelaki paruh baya itu meninggalkan perempuan yang sedari tadi kuamati itu untuk kembali menemui bangku yang sedari tadi didudukinya. Aku masih terus mengamati perempuan muda itu. Setelah kedatangan keluarga itu nampaknya ia menjadi agak sedikit tenang. Ia membetulkan posisi duduknya. Sekarang ia duduk dengan posisi agak tegak, sambil sesekali menyeka pipi ataupun wajahnya yang nampaknya basah lagi dengan air-air bening yang terlahir dari kedua sudut matanya. Ia mencoba tegar sepertinya. Kemudian, kulihat perempuan paruh baya itu juga membetulkan posisi duduknya, ia menghadap ke arah perempuan yang sedari tadi kuamati itu. Kali ini nampaknya perempuan paruh baya itu bersiap akan berbicara lagi kepada perempuan yang sedari tadi kuamati itu. Tapi, sekarang kata-kata yang keluar dari bibir perempuan paruh baya itu terdengar agak keras. Dan, aku berhasil mendengarnya dengan jelas. Sayang, yang bisa kudengar sedikit saja karena memang perempuan itu berbicaranya juga tidak sebanyak ketika ia berbicara untuk kali pertama dengan perempuan yang sedari tadi kuamati itu. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakanya.

 “Ya adik, mari kita bersama-sama berdoa untuk kesembuhan adam yang sama kita sayangi, karena memang hanya itulah yang bisa kita lakukan sekarang. Tante sudah siap, menerima hal terburuk sekalipun kalau itu memang takdir yang sudah digariskan Yang Maha sejak zaman azali dulu…”.

       Aku mulai jengah dengan pekerjaan yang memag kebanyakan orang tak menyukainya ini, menunggu. Aku juga sudah mulai bosan memperhatikan perempuan muda itu. Ditambah lagi dengan perutku yang menyayikan lagu-lagu perjuangannya, kuputuskan untuk melangkahkan kaki menuju ke arah kantin rumah sakit ini. Hingga deritan pintu yang terbuka menarik perhatianku. Ada tiga orang lelaki yang sama botaknya memakai pakaian putih sebatas lutut, yang satu berkacamata, sedangkan yang lain tidak. Dan juga ada dua orang suster yang sama cantiknya. Yang berkacamata sibuk memasukkan alat-alat operasi ke keranjang dorong. Sedangkan yang satunya lagi asyik memegangi beberapa kertas sambil sesekali menuliskan sesuatu. Kemudian, setelah menyeka peluh yang membasahi keningnya, dokter botak yang berkacamata itupun segera berbicara.

“Bapak, Ibu, kami telah berusaha sekuat tenaga, tapi, Tuhan berkata lain. Operasi yang kami lakukan gagal. Dan…”.

Setelah dokter berbicara seperti itu, ada dua orang pegawai Rumah Sakit yang mendorong kereta dorong yang di atasnya ada sesosok tubuh yang ditutupi kain hijau. Segera saja perempuan yang sedari tadi kuamati itu menghambur ke arah kereta dorong itu, menghentikannya, dan membuka sebagian kain hijau itu. Perempuan yang sedari tadi kuamati itu kemudian memandangi wajah keputihan yang nampak tersenyum itu sambil berusaha tegar. Sungguh, sebuah senyuman yang damai mengiringi kepergian sesosok tubuh itu meninggalkan dunia yang semakin sempit dengan kemunafikan ini…

 

Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang, 17 Maret 2006, 15:50 wib,

Untuk Ika Dian Rahmawaty, Semoga tabah menerima takdir Yang Maha Segalanya…

Posted in Cerpen | Leave a Comment »

Lelaki Penyuka Musik dan Cerpen yang Belum Selesai

Posted by didikharianto pada Desember 25, 2006

Lelaki Penyuka Musik dan Cerpen yang Belum Selesai

              Seperti kemarin-kemarin, lelaki itu sekarang kebingungan. Ia mengendarai motor dengan tidak biasanya, kencang sekali. Tujuannya sekarang adalah wartel terdekat. Segera ia menghubungi perempuan yang akhir-akhir ini mengusik harinya. Tapi, hari ini sepertinya mereka bertengkar. Pagi tadi, aku dapat melihat dan mendengar dengan jelas apa yang mereka lakukan. Perempuan itu tetap memaksakan datang meskipun dengan raut muka yang enggan sepertinya, dengan sisa-sisa tenaga dan kemauan, ia mencoba menemui lelaki yang kerap berpakaian hitam itu. Di percakapan mereka, perempuan yang sama berbaju hitam itu lebih sering menundukkan wajahnya ketika berbicara dengan lelaki itu. Hanya satu ucapannya yang bisa kutangkap, perempuan itu hanya mengucapkan terima kasih, dan selanjutnya perempuan itu berlalu pergi meninggalkan lelaki yang nampaknya belum selesai bicaranya itu. Pun sama dengan ketika maghrib tadi baru saja berlalu. Ketika aku sedang menelepon ke rumah, sekedar memberikan kabar jika aku di sini baik-baik saja, meminta doa dari semua yang ada di rumah karena aku sedang menempuh Ujian Akhir Semester, dan meminta kiriman uang tentunya. Tak kuduga lelaki itu juga datang ke wartel depan kosku tempatku menelepon. Wartel itu memang hanya memiliki 2 KBU. Yang satu kutempati, dan yang satu ditempati lelaki yang sampai saat ini masih menggunakan pakaian hitamnya. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkan lelaki itu, ia sedang membujuk suara di seberang sana untuk bersedia menemaninya melihat konser musik yang sekarang sedang dihelat di kampusnya. Sekitar lima menit ia berusaha membujuk, tapi, akhirnya ia keluar dari KBU dengan wajah penuh kekalahan. Dengan sisa-sisa kesabarannya, lelaki itu menaiki motornya. Entah mengapa, aku ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukannya. Segera saja kututup pembicaraanku dengan ayah bundaku di kampung. Kunaiki juga motorku, aku sekarang membuntutinya. Ia membelokkan motornya ke arah kampus. Ia akan melihat konser musik? Tanyaku kepada diriku sendiri. Tak lama pertanyaanku terjawab, lelaki itu melewati begitu saja venue konser musik itu. Ia sekarang menuju ke ruangan sekretariat sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa, ia memasukinya, aku memperhatikannya dari depan ruangan sekretariat itu, sepi, tapi tak lama kemudian terdengar musik dari dalam ruangan itu, sebuah lagu yang mengabarkan kesendirian.

            Masih asyik menerka apa yang dilakukan lelaki itu, sebuah getaran kecil di saku kanan celanaku sedikit mengagetkanku, sebuah pesan pendek dari perempuanku,

            From : HoneyQ

            Sayang, jadi liat Colourfull Day g?

            Qtunggu skr d kosku y?

            I Love You Fuel…

Astaga, aku ada janji dengan perempuanku. Segera saja kutinggalkan kampus dengan berbagai hipotesis tentang apa yang dilakukan lelaki berpakaian hitam itu. Sesampai di kos perempuanku, perempuanku dengan wajah murungnya segera menghujaniku dengan berbagai macam pertanyaan. Kuucapkan sepatah kata saja untuknya, maaf, sambil membelai rambutnya, dan ia pun tersenyum lagi. Huh, perempuan… kataku dalam hati.

“Sayang, anterin aku ke sekretariat Balai Penulis Muda ya? Aku mau ngasih tugas untuk TriKoen nih, mau kan?” Bujuk perempuanku sambil mempererat pelukannya di perutku.

Hah, tempat lelaki itu tadi? Ucapku pelan, nyaris tak terdengar.

“Sayang…” ulang perempuanku.

“Oh… ya, ya… Apa sih yang gak buat kamu?” Jawabku, klise.

Perempuanku semakin mempererat pelukannya, dan aku suka itu. Sengaja aku lajukan pelan saja motorku, aku memang ingin melewatkan malam ini dengan perempuanku saja. Dan akhirnya aku sampai juga di depan sekretariat Balai Penulis Muda itu. Kutemani perempuanku masuk, aku dan perempuanku mengucapkan salam, hampir berbarengan. Terdengar suara sedikit berat dari dalam, menjawab salam. Dan, lelaki itu muncul!!! Lelaki itu mempersilahkan kami masuk. Segera saja perempuanku mengutarakan maksudnya datang ke tempat ini. Lelaki itu cukup ramah sepertinya, ia mengatakan jika TriKoen – seseorang yang dicari perempuanku- sedang ada rapat rahasia di suatu tempat yang tidak memperbolehkan ada seorangpun yang tidak berkepentingan hadir ada di rapat itu. Dan perempuanku memutuskan untuk meninggalkan pesan saja, ia berbicara kepada lelaki itu, tapi lelaki itu mengatakan tidak bisa mengingat-ingat pesan dari perempuanku. Lalu ia mengambil pena dan kertas yang sepertinya memang banyak di tempat ini dan memberikannya kepada perempuanku. Ketika perempuanku masih asyik menuliskan pesannya, iseng kuhampiri komputer yang masih menyuarakan lagu tentang kesendirian. Bisa kubaca jelas tulisan yang tercetak di layar berukuran 15’ itu. Sebuah Cerpen, Sebuah Hari yang Penuh Keengganan. Oleh Ian Hitam Mu-Phet. Tanpa ada yang menyuruh, kuraih mouse berwarna merah, kugerakkan ke bawah, masih dapat satu halaman, kataku pelan.

            Lagi nulis cerpen ya mas?” Tanyaku sekenanya.

            “Seperti yang anda lihat” Jawabnya singkat.

Perempuanku telah selesai menuliskan pesannya. Segera saja kami mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi meninggalkan lelaki itu, ruangan itu dan lagu yang mengabarkan kesendirian itu.

            Aku dan perempuanku kini sudah ada di venue konser musik. Perempuanku berdiri tepat di depanku, tanganku dilingkarkannya di perutnya. Aku lelaki normal, dan hasrat kelelakianku menggelegak. Tapi, entah mengapa, aku “dingin” sekali kali ini dengan perempuanku. Saat ini aku ingin sekali mencari tahu meskipun hanya lewat imajinasiku saja kenapa lelaki itu pagi tadi sedikit bertengkar dengan perempuan berjilbab putih itu, kenapa lelaki itu keluar dari KBU wartel dengan wajah penuh kekalahan, kenapa lelaki itu hanya memutar satu lagi saja di winamp tentang kesendirian yang menemaninya menulis, kenapa lelaki itu menulis cerpen yang berjudul “Sebuah Hari yang Penuh Keengganan”, dan terakhir, kenapa lelaki itu tidak melihat konser musik yang hanya berjarak sekitar delapan puluh meter saja dari tempatnya malam ini beraktifitas.

            Mungkin saja, perempuan berjilbab putih tadi pagi adalah kekasih dari lelaki itu dan kemarin malam mereka bertengkar, lelaki itu ingin menyelesaikan masalahnya dengan perempuannya, tadi pagi di kampus. Tapi, perempuannya masih ingin menjauh sementara darinya. Kemudian selepas maghrib tadi lelaki itu ingin mengajak perempuannya melihat konser musik di kampus, sekedar untuk “mendinginkan” pertengkaran. Tapi, perempuannya sepertinya tidak mau. Dan lelaki itu keluar dari KBU wartel dengan wajah penuh kekalahan. Lalu lelaki itu pergi ke sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa yang diikutinya. Mendengarkan Winamp, lagu yang didengarkannya adalah lagu tentang kesendirian, karena ia memang bersendiri tadi. Kemudian tentang cerpennya yang berjudul “Sebuah Hari yang Penuh Keengganan” Menurutku, lelaki itu terinspirasi dengan perempuannya yang pagi tadi memang nampak enggan menemuinya, pun juga perempuannya yang enggan menemaninya melihat konser musik. Dan pertanyaan terakhirku tentang kenapa ia tidak melihat konser musik, mungkin saja ia memang tidak mau melihat jika tidak ditemani perempuannya. Apakah ia takut hatinya tergoyahkan dengan hadirnya perempuan lain yang akan ia temui nanti di venue konser musik? Apakah ia memang tidak suka keramaian? Ataukah ia memang mengerti “hukum” musik yang memang tidak untuk dilihat tapi cukup didenagrkan saja? Ah, aku tidak tahu pasti. Tapi yang pasti, lelaki itu juga suka mendengarkan musik. Itu terbukti dengan ia yang memainkan lagu yang mengabarkan tentang kesendirian di Winampnya.

            Semakin lama, aku semakin menikmati kembara imajinasiku yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang lelaki itu. Dan aku juga semakin tidak memperhatikan perempuanku yang setiap lima menit sekali pasti akan semakin merapatkan pelukanku di perutnya. Kini, aku mencoba menebak tentang cerpen yang tadi ditulis lelaki itu. Ini dari subjektifitasku saja yang notabene adalah mahasiswa Psikologi yang memang benar-benar tidak mendalami tentang karya sastra. Tapi menurutku, pemilihan judul lelaki itu tadi sudah cukup bagus, mampu menarik perhatian pembaca hanya dengan membaca judulnya. Tapi kira-kira tema apa yang diangkatnya, dan dari mana inspirasi untuk menulis cerpen itu. Bagaimana alur cerpen itu. Terakhir, apakah cerpen itu telah selesai sekarang?

            Aku dikagetkan dengan ciuman perempuanku yang mendarat mulus, tepat di pipi kananku. Perempuanku menyangkaku sedang melamun yang tidak-tidak. Aku tidak menyadari jika konser musik di lapangan depan kampusku itu sudah berakhir. Kini perempuanku yang tingginya hanya sebatas daguku itu mamandang ke arah wajahku dengan pandangan mengiba,

            “Sayang, anterin aku ke Balai Penulis Muda tadi ya? Mungkin saja TriKoen sudah kembali, dan aku akan njelasin sedetail-detailnya tentang tugas yang harus dikumpulkan besok tadi, mau ya?” Rengek perempuanku.

            “Ya sayang, Apa sih yang gak buat kamu?” Jawabku seperti tadi, klise.

Segera kuambil motor yang kuparkir di tempat parkir yang bersebelahan dengan pos satpam. Dan seperti tadi, perempuanku memelukku erat, sesaat setelah menaiki motorku. Dan sekali lagi, aku suka itu. Kulajukan perlahan motorku ke depan sekretariat Balai Penulis Muda yang bersebelahan dengan sekretariat Korps Suka Rela  Palang Merah Indonesia dan sekretariat Ikatan Pecinta Retorika Indonesia. Sesampainya di sana, segera aku dan perempuanku masuk, kali ini tanpa mengucapkan salam.

Dan kudapati lelaki itu masih saja sendiri, tenggelam di hadapan komputer yang masih mendendengkan lagu yang mengabarkan kesendirian, memandangi sebuah potret di layar komputer, seutas wajah yang penuh keceriaan, wajah itu memakai kerudung berwarna putih, tapi kemudian lelaki itu meng-close file ACDSee itu. Dan kemudian kulihat lelaki itu masih termangu di hadapan komputer, memandang lemah aksara-aksara cerpennya yang sedari tadi belum juga ia selesaikan…

 

Malang, 8 Juni 2006 OPUS 275 Anniversary…

untuk seseorang yang kian akrab dengan sepi

Posted in Cerpen | 2 Comments »

Gila, Mereka Memandangku dengan Pandangan Aneh…

Posted by didikharianto pada Desember 25, 2006

Gila, Mereka Memandangku dengan Pandangan Aneh…

                Gila, mereka memandangku dengan pandangan aneh. Aku sendiri sangat-sangat ingin mengerti kenapa setiap orang yang memandangku selalu dengan pandangan anehnya. Seringkali kuperhatikan, jika yang memandangku adalah orang yang berjalan beriringan, entah bersama kekasihnya ataupun bersama teman-temannya. Pasti mereka akan memandangku kemudian saling beradu pandang dengan kekasih atau temannya, dan bisa dipastikan mereka kemudian akan tertawa bersama-sama. Pun jika yang melihatku adalah orang yang berjalan sendirian saja, ia pasti akan memandang ke arahku sebentar, kemudian senyuman tersungging di sudut bibirnya sembari geleng-geleng kepala. Pernah suatu ketika, rasa ingin tahuku mencapai titik kulminasinya. Aku ingat betul, waktu itu matahari masih menggantung lemah di ufuk barat membiaskan warna merah keemasan, ada sepasang muda-mudi yang berjalan di depanku, sedetik, dua detik, tiga detik mereka memandangku dan kemudian pecahlah tawa mereka, mereka tertawa bersama. Bagaimanapun kau harus tahu apa alasan mereka memandangku dan selanjutnya menertawakanku seperti itu, pikirku waktu itu. Dan segera saja kuhampiri sepasang muda-mudi yang berjalan mesra tiga meter di depanku itu. Tapi, tahu apa yang terjadi? Mereka lari cepat-cepat menghindariku sambil tetap bergandengann tangan. Huh, sebenranya apa yang lucu atau konyol dari diriku ini, sehingga semua yang melihatku pasti dengan pandangan aneh dan kemudian tertawa bersama?

            Yang paling memuakkan bagiku adalah, aku sekarang tak ubahnya sebuah monster bagi setiap anak-anak atau balita yang kutemui. Mereka selalu lari terbirit-birit. Jika tidak, perbuatan mereka pasti hampir mirip dengan orang-orang sebelum mereka. Ya, anak-anak itu memandangku dengan pandangan aneh, dan kemudian mereka pasti akan tertawa bersama. Pun sama ketika mereka akan kudekati, sekedar menanyakan kenapa mereka selalu dengan pandangan aneh ketika menatapku dan kemudian tartawa bersama. Tapi seperti bisa ditebak, mereka pasti akan terbirit-birit terlebih dahulu sebelum jarakku dan jarak mereka mencapai lima meter. Aku juga agak muak dengan para ibu-ibu yang memiliki balita atau bayi. Jika tidak mau makan, ibu-ibu itu pasti akan membujuk anaknya dengan kata-kata seperti ini. Ayo maem sing akeh, lek gak engkok ta’ kekno wong cedek’e pos kamling iku loh… **

 

*******

 

            Di sebuah pagi yang masih basah, aku beranjak dari kasur tempatku memintal mimpi. Seperti biasanya, aku langsung menyalakan televisi yang letaknya berseberangan dari kasurku. Entah mengapa, pagi ini aku malas sekali melihat stasiun TV, kutekan tombol TV/AV pada sebuah benda kecil berwarna silver yang kupegang, kemudian kutekan tombol open, sedikit malas aku beranjak ke tas kuliahku, kuambil sebuah Video Compact Disc, semalam aku mendapat pinjaman beberapa VCD dari Ian, temanku sekelasku. Tanpa banyak tanya, aku mengerti jika itu pasti VCD porno, Ian memang tahu kesukaanku, kita sedari SMU dulu memang suka sekali melihat film porno. Segera saja kumasukkan kepingan mengkilap itu ke VCD Playerku dan aku segera mencari posisi ternyaman di kasurku. Kunikmati pergumulan dua manusia berbeda jenis itu. Aku jadi teringat sewaktu aku masih kelas tiga SMP dulu, sewaktu aku baru pertama kalinya melihat film porno di rumah ketua kelasku, gila, jantungku berdetak tak seperti biasanya, waktu itu detakannya seperti kuda yang keluar dari kandangnya, cepat sekali, belum lagi kurasakan tubuhku yang sedikit menggigil, gigiku bergemeretak dan juga dengkulku bergetar. Aku masih menikmati film porno itu ketika berhala kecilku menyanyikan F**kin Girlnya Tani Madjoe, itu berarti ada pesan pendek yang masuk, kutekan beberapa tombol, dari Icha, kekasihku, kutekan tombol read,

            From:  HoneyQ

            Sayang, dah bangun blom?

            Aku bru selesai keramas nich…

Sengaja tidak kubalas sms itu dan kulanjutkan melihat film porno buatan Indonesia itu, empat puluh lima menit kemudian film itu berakhir, aku merasakan ada sesuatu yang lain di ujung kelaminku, segera saja aku pergi ke kamar mandi yang menyatu dengan kamarku, kuputuskan onani saja sambil mencoba kembali mengingat apa yang kulakukan semalam bersama Icha di salah satu sudut kampusku, ketika aku memeluk Icha dari belakang dan aku mulai mencumbunya, aku hanya sekedar meraba beberapa bagian tubuhnya saja sambil sesekali menciumi lehernya. Aku tahu Icha juga suka sekali dengan seks semacam ini, kita berdua memang penggila seks, tapi untuk berbuat lebih jauh, aku dan Icha masih takut akan resiko yang ditimbulkan.

 

*******

 

            Aku hanya bisa berdiri mematung sambil mematung ketika orang tua Icha marah besar kepadaku, kulihat Icha hanya bisa menangis sesenggukan di pelukan ibunya, dan ayah Icha masih saja terus menerus memarahiku sambil sesekali menuding-nudingkan jemarinya ke arah wajahku, dua puluh menit kemudian beliau mengakhiri marahnya sambil memegangi dadanya dan sesekali beliau terlihat kesulitan menghirup nafas.

”Masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan saja ya, om, tante?“ kataku sambil mencoba menenangkan diriku sendiri, setelah agak lama mereka berpikir, akhirnya orang tua Icha menyetujui tawaranku.

            Tepat dua hari setelah aku dimarahi habis-habisan oleh orang tua Icha, aku dan orang tuaku datang ke rumah Icha. Tujuannya jelas, bagaimana agar pernikahanku dan Icha dipercepat, sehingga dapat menutupi aib bagi keluarga Icha, apalagi dengar-dengar tetangga di sebelah kanan-kiri Icha sudah mempunyai dugaan jika Icha telah hamil. Di sebuah ruang keluarga kami duduk bersama, cahaya lampu neon memberi penerangan yang cukup, beberapa kue tersaji dengan enam gelas air putih. Di sebuah meja yang bundar, dimulailah acara “dengar pendapat“ itu, Icha duduk diapit kedua orang tuanya, pun aku juga duduk di antara Ayah dan ibuku. Yang menjadi “Korban“ waktu itu jelas, Icha, pun sama dengan siapa yang menjadi “Tersangka“, aku. “Penuntut“ jelas dari keluarga Icha, pun “Pembela“ juga pasti dari keluargaku.

       “Yang saya tahu, putri saya sekarang hamil akibat perbuatan putra bapak, okelah, mungkin saya juga salah dalam masalah ini, saya kurang perhatian mungkin terhadap putri saya, tapi semua sudah terjadi, pak. Putri saya sekarang hamil, sudah dua bulan. Keinginan saya bersama istri, jelas, menuntut tanggung jawab dari putra bapak, dan hanya ada satu jalan, mereka harus menikah, secepatnya, titik!!!“ Buka ayah Icha sambil bergantian memandang ke arahku dan putrinya.

        Suasana sejenak menjadi hening, hanya detak jam dinding di salah satu sudut ruangan ini dan cericit beburungan yang melintas di atas rumah ini yang terdengar. Kulihat ibuku dan ibunya Icha sama-sama tertunduk, menjelajah detail kain meja yang tergelar di depan mereka, sedangkan Icha menyandarkan kepalanya di lengan ibunya, ayahku terlihat memandang langit-langit dengan dahi yang nampak berkerut, beliau mengambil nafas perlahan, menahannya sebentar, dan kemudian dihembuskannya perlahan, beliaupun angkat bicara.

        “Ya, saya setuju dengan alternatif yang bapak berikan. Saya sendiri juga merasa bersalah dengan adanya kejadian ini, saya merasa saya telah gagal mendidik anak saya. Meskipun saya rasa cukup ajaran agama yang saya tanamkan untuk putra saya. Tapi bagaimanapun semua sudah terjadi. Sudah tak ada gunanya lagi menyesali apa yang telah terjadi. Jalan terbaik adalah benar seperti yang bapak utarakan tadi, kita harus menikahkan mereka berdua secepatnya.“ Balas ayahku dengan memandang lekat kedua mata ayah Icha.

Kedua orang tua kami setuju pernikahan akan digelar akhir bulan depan, mereka selanjutnya membicarakan hal-hal teknis seputar pernikahan kami. Aku hanya sesekali mengiyakan perkataan ataupun usulan mereka.

 

*******

 

        Kira-kira dua bulan lagi putraku akan lahir dari rahim Icha. Istriku tentu saja mengambil cuti kuliah, sedangkan aku yang kini menyandang predikat kepala keluarga harus sebisa mungkin segera mendapatkan kerja part time sehingga tidak mengganggu jadwal kuliahku yang hanya tinggal satu semester saja sebelum mendapat gelar sarjana. Nanti hasil kerjaku akan kugunakan untuk membiayai persalinan istriku. Sekarang aku dan istriku masih numpang di rumah orang tuaku di pinggiran kota Malang yang sejuk. Meskipun begitu, aku yakin sekali jika secepatnya aku mampu menyelesaikan skripsi, dan mendapat pekerjaan yang selama ini kuidam-idamkan, wartawan.

    Seperti malam-malam lalu, aku sekarang tidak pernah tidur sendirian, di sampingku selalu ada istriku. Pun sama dengan malam ini, jam weker berbentuk bola di sebelah tempat tidurku menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh menit, aku dan istriku sudah bersiap tidur, selimut telah sampai di leher kami. Istriku mulai menanyakan nama yang kira-kira pantas untuk anak kita nantinya dan istriku juga mengutarakan keinginannya kelak anak pertama kita adalah perempuan.  Istriku mendongakkan kepalanya, menatap wajahku yang sedari tadi asyik menjelajahi lembaran-lembaran rambutnya, dua detik kemudian ia berkata,                                                    

        “Mas janji tidak akan marah jika aku ingin berterus terang kepada mas?“

Aku membenarkan posisiku, sekarang aku sedikit bersandar di sandaran tempat tidur.

    “Mas..??“ Ulang istriku, aku tidak menjawab, hanya mengangukkan kepalaku sedikit.

“Sebenarnya, bayi ini bukan dari benih yang mas tanam, ya, aku memang pernah berhubungan badan dengan mas, tapi aku ingat sekali waktu itu kita memakai kondom dan aku yakin sekali kondom itu tidak bocor. Sebenarnya sewaktu aku masih pacaran dengan mas dulu, aku sempat beberapa kali berhubungan badan dengan mantan kekasihku sebelum mas, dan itu kulakukan tentunya di luar sepengetahuan mas…“ Ucap istriku yang diiringi buliran-buliran air bening di sudut matanya yang akan menganak sungai di kedua pipinya jika matanya mengerjap.

“Dengan Komar…??“ Tanyaku gamang,

“Ya…“ jawab istriku singkat

“Benarkah..??“ Tanyaku meyakinkan, istriku hanya mengangguk kecil dan kulihat air bening itu telah jatuh, menguasai pipi yang dulu benar-benar kupuja.

      Kuputuskan untuk meninggalkan rumah ketika semua penghuninya masih terlelap dalam tidurnya, aku hanya membawa beberapa potong pakaian yang kumasukkan dalam tas plastik besar. Aku tidak tahu arah mana yang kutuju. Aku menuruti kemana kaki ini membawa tubuh dan jiwa yang kurasakan tak lagi berbentuk. Sebenarnya, aku masih sayang istriku, calon bayiku, keluargaku dan semuanya. Tapi, sepertinya aku masih tidak bisa menerima kenyataan jika bayi yang dikandung istriku ternyata bukan anakku dan sepertinya aku juga masih belum menerima kenyataan jika istriku dahulu sering berhubungan badan dengan Komar, mantan kekasihnya. Mungkin juga ini azab dari yang Maha Segalanya atas semua kebusukan yang pernah kulakukan sebelum aku dinikahkan dengan istriku. Ah, aku tidak tahu…..

 

*******

 

       Dan sekarang, aku terduduk di dekat pos kamling sebuah desa yang tak kuketahui namanya, menatap anak-anak kecil yang memandang aneh kepadaku. Adakah salah satu dari mereka anakku?

 

 

 

 

 

 

Catatan:

** Ayo makan yang banyak, kalau tidak nanti ibu berikan kepada orang yang berada di dekat pos kamling itu loh..

Posted in Cerpen | Leave a Comment »

Di Sebuah Sudut

Posted by didikharianto pada Desember 25, 2006

Di Sebuah Sudut

Perkenalkan, aku adalah sebuah ruang kelas, tubuhku berisi empat puluh kursi yang ada alas untuk menulis, atau sekadar menaruh tas, kursinya sendiri berasal dari kayu, entah, aku tak tahu kayu jenis apa itu, yang pasti di tempat yang biasa dijadikan sandaran (senden, jawa) ada anyaman yang sungguh rapi, tapi sayang, di belakang tempat sandaran itu, anyamannya sudah rusak, di dalamnya banyak terdapat bungkusan permen dari berbagai macam merk, dengan semua warna kemasan yang membungkusnya. Tapi anehnya dari sekian banyak kursi, ada sebuah kursi yang tempatnya berada di deretan paling depan menghadap ke kursi-kursi lain, kursi itu jarang ada mahasiswa yang berani memegang, apalagi memindahkannya, aku tidak tahu mengapa demikian, yang pasti kursi itu sering diduduki lelaki-lelaki berperut buncit atau perempuan-perempuan yang sudah tak lagi cantik. Selain ada puluhan kursi, di dalam tubuhku juga ada papan tulis putih dan sebuah whiteboard berwarna hitam yang terletak di pojok kanan bawah papan tulis, oh rupanya tutup whiteboard itu hilang. Tepat satu meter di depan pojok kanan bawah dari papan tulis ada sebuah OHP yang meskipun terletak di dalam, tapi tetap saja tulisan “Gunakan maksimal 2 menit”nya terbaca dari luar. Di tubuhku juga ada tiga buah benda putih bulat dengan diameter lima centimeter yang terletak lebih tinggi dari yang lain, sebuah benda yang baru bisa hidup jika sebuah benda yang berada di dekat pintu ditekan.

Pintu di tubuhku berwarna ungu, sedangkan engselnya berwarna keemasan, tapi kuyakin, itu bukan emas sungguhan, cuma lipstik yang digunakan untuk mempercantik diriku saja menurutku. Jendela, jendela di tubuhku ada delapan buah jendela, aku paling risih jika melihat bagian tubuhku yang satu ini, meskipun masih bisa berfungsi dengan baik, tapi debu-debu yang menempel di delapan jendela itu seringkali membuatku bersin-bersin. Ah, sialan tukang sapu fakultas itu, kerjanya hanya menyapu lantai selasar saja kalau pagi, tapi kenapa jendela-jendela di tubuhku tidak pernah dibersihkan, tidak punya kain pembersih?, bilang dong ke Sub Bagian Rumah Tangga Fakultas, tinggal ngomong saja apa susahnya sih?

Aku paling tidak suka sendiri, sepi, tiada teman, apa yang bisa kukerjakan? Aku paling suka dengan rutinitasku mulai pukul 08.45-15:45 wib, di waktu itu aku paling suka mendengar penjelasan dari lelaki-lelaki buncit atau perempuan-perempuan yang tak lagi cantik itu, aku paling suka ketika melihat mahasiswa di tubuhku yang menelanjangi pendapat dosen, berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya, membaca buku-buku yang idealis, dan lainnya. Sebaliknya, aku paling tidak suka jika melihat mahasiswa yang di dalam tubuhku masih asyik ber-smsan, membuat rencana untuk bersama pergi ke salon, distro, bioskop,atau tempat-tempat semacamnya.

Kalau seandainya aku bisa protes ke Sub Bagian Pendidikan, aku akan protes mengapa tubuhku hanya dipakai dari jam 08:45 sampai 15:45, aku paling tidak suka sebenarnya berotasi di jam-jam itu, kenapa aku tidak mulai digunakan mulai jam 07:00 pagi? Padahal, aku paling suka jika tubuhku dipakai jam 07:00. Kenapa, aku suka sekali mencium beraneka macam bau parfum yang dipakai para mahasiswi, pun juga dengan para mahasiswanya, rambut-rambut yang masih mengkilap, dan kemeja yang masih rapi. Berbanding terbalik dengan keadaan ketika jarum-jarum kecil yang kini sudah tak ada lagi di tubuhku menunjukkan pukul 15:45. Jangankan 15:45, 08:45 saja “kecantikan” itu sudah tak berbentuk lagi. Memang, kecantikan yang diperoleh dari cara dan produk instant tak akan bertahan lama.

Pagi ini, tepat pukul 06:02 seorang lelaki paruh baya berkaos oranye bertuliskan “PKPT SASTRA 2002” dan memakai topi sedikit kumal membangunkanku, dia membuka pintuku yang semalam tadi tidur dengan lelapnya. Selamat pagi, ucapku kepada kursi, papan tulis, white board, pintu, lampu, dan juga jendela. Pagi juga, balas mereka hampir berbarengan.    Uh, Brr, kota Malang tetap saja menawarkan aroma dinginnya, kualihkan pandanganku keluar jendela, nampaknya tetesan air kecil-kecil mulai turun, ya, gerimis yang membuat pagi ini semakin dingin.

 

Di depan pintuku, kulihat ada seorang mahasiswa membawa tas ransel biru “Eiger” yang nampaknya cukup banyak isi di dalamnya, dia memakai kaos hitam yang merupakan kaos kebesaran dari salah satu organisasi kemahasiswaan di kampus ini, celana yang dipakainya juga sama warnanya, hitam. Sepatunya belel, bahkan berlubang di sisi kirinya, lubang itu ditutupi dengan menggunakan hansaplast. Aku mengenalnya, dia adalah Didit, salah satu aktivis kampus yang kemana-mana selalu membawa buku Gie, Catatan Seorang Demonstran. Mahasiswa satu ini dikenal dengan idealisme anti MATOSnya. Jika berada di dalam tubuhku, mahasiswa satu ini lebih banyak diam, semua yang dirasakannya biasanya langsung dituliskan dalam sebuah binder hitamnya. Entah apa saja yang dituliskannya, aku tak pernah mengerti.

 Setelah kedatangan Didit, kulihat ada seorang mahasiswi berkacamata, dia sedikit gemuk, pagi ini dia memakai kaos pink “Billabong” dan celana biru “Quicksilver”, di kakinya ada sepasang sepatu “Converse” hitam putih. Nanda, ya Nanda nama mahasiswi yang juga penyiar radio kampus ini langsung saja menyeret Didit masuk ke tubuhku. Ya Tuhan, apa yang akan diperbuat sepasang makhluk adam dan hawa ini, kataku sambil meraba dadaku.

“Aku tahu mungkin ini adalah dunia yang sama sekali berbeda. Tapi manusia hidup dengan perbedaan. Aku tahu kamu menghilang karena jengah, tapi bagiku ini duniaku. Cobalah untuk melihat ini sebagai sebuah keindahan.” Kata mahasiswi itu.

“Aku setuju, perbedaan dan keragaman adalah bahasa keindahan Tuhan, tinggal bagaimana kita menyikapinya saja, aku kemarin pergi karena aku harus menyelesaikan proposalku, kemudian minta tanda tangan ke pembimbing teknis UKMku.” Jawab Didit.

“Oh, jadi kamu gak apa-apa, gak marah ke aku?” Tanya Nanda lagi.

Gak kok, tapi janji gak akan pernah memaksaku lagi pergi ke tempat itu..” Jawab Didit sambil tersenyum kecil menatap kedua mata Nanda.

 

“Ok, Bos..”, balas Nanda sambil mengambil sikap ala penghormatan di upacara-upacara kenegaraan.

 Oh, sebuah perbedaan idealisme yang sungguh manis mengisi tubuhku pagi ini, keduanya saling mengerti, aku bahagia sekali, tubuhku pagi ini digunakan sebagai salah satu fase proses pendewasaan antar kedua manusia berbeda idealisme.

Kulihat, jam di ponsel yang tidak pernah lepas dari genggaman Nanda menunjukkan pukul 06:30, meskipun belum jam 08:45, tapi hari ini aku senang sekali, tubuhku hangat karena sebuah skenario yang indah baru saja dilakonkan kedua mahasiswa itu. Sungguh, pluralitas akan semakin indah jika kita dewasa menyikapinya, bukan sebagai alat pemecah, tapi justru sebagai alat pemersatu, terima kasih Didit, terima kasih Nanda…

 

Malang, lima hari setelah “peristiwa” itu, untuk Nanda Awalil Fitri…

Posted in Cerpen | Leave a Comment »

Sudahlah, Semua Memang Harus Berakhir…

Posted by didikharianto pada Desember 25, 2006

Sudahlah, Semua Memang Harus Berakhir…

Sebuah Kado Terakhir, untuk perempuan itu


Sudahlah, semua memang harus berakhir…

xxx

Sudahlah, kau tak perlu seperti itu. Kau tak perlu merasa bersalah. Kau tak perlu minta maaf. Semua sudah terjadi, Gih. Tak ada yang perlu kita sesalkan, karena kita telah mempunyai dunia masing-masing sekarang. Sudahlah, kau tak perlu “menangisi” kepergianku. Tapi, biarkan aku saja yang dengan benar-benar menangisi kepergianmu. Meskipun tangisan itu terlalu lirih untuk disebut sebagai penindasan, tapi paling tidak, tangisan itu berbanding lurus dengan kesedihan.

Sudahlah, lebih baik kau bakar saja semua kenangan yang pernah ada, hingga semua tak lagi berbekas. Bahkan, untuk disisakan sebagai sejarah yang kelam agar anak cucu kita dapat berkacapun jangan. Kuminta sekali lagi, dengan tegas, jangan! Baklah, aku tahu, mungkin beberapa sejarah yang pernah kutorehkan bersamamu, bagimu tidaklah terlalu indah. Tapi bagiku? Itu semua bukan hanya indah, tapi sangat berharga. Meskipun keberhargaan itu terlalu lirih untuk disebut sebagai kemewahan, tapi paling tidak, keberhargaan itu berbanding lurus dengan anugerah.

Sudahlah, kau tak perlu lagi mengenang puluhan puisi yang pernah kukirimkan kepadamu. Kau juga tak perlu lagi mengenang beberapa kali kau mengangkat teleponmu, dan di seberang, kau temui suaraku yang terkerat waktu kelabu. Kau juga tak perlu lagi membuka emailmu, jika hanya untuk kembali mendownload beberapa tulisanku yang kukirimkan lewat attachment. Lebih baik kau hapus saja semua puisi yang kukirim lewat pesan pendek di berhala kecilmu. Pun, dengan beberapa email yang berisikan semua rasaku kepadamu. Jika kau ingin dengan benar-benar menghilangkan jejakku yang pernah tertinggal di dunia indahmu. Lakukan saja! Tak perlu ragu! Biarkan aku sendiri saja yang mencoba menerima apapun di atas apa yang kau lakukan. Meskipun keberterimaan itu terlalu lirih untuk disebut sebagai kekalahan, tapi paling tidak, keberterimaan itu berbanding lurus dengan pengorbanan.

Sudahlah, kau tak perlu lagi bersandiwara seperti itu. Aku tahu, mengapa kau sulit sekali untuk kuajak menghabiskan waktu. Meskipun hanya sekadar melihat performancenya Tani Madjoe, yang seperti katamu kau suka sekali dengan Band itu. Kau tak perlu lagi memasang muka malas dan berucap, “aku malas untuk keluar,”. Bilang saja aku bukan orang yang tepat untuk berdampingan denganmu! Pun, dengan katamu yang suka berurusan (atau sekedar main-main, mungkin? Siapa tahu?) dengan dunia buku. Berulang kali aku mencoba mengajakmu menghadiri Pameran Buku, Bedah Buku ataupun Launching buku. Tapi pernahkah kau mau? Sepertinya aku memang benar-benar bukan seseorang yang tepat untuk berada di sampingmu! Harusnya kau bisa lebih jujur, Gih! Meskipun kejujuran itu terlalu lirih untuk disebut sebagai al-amin, tapi paling tidak, kejujuran itu berbanding lurus dengan kebenaran.

Sudahlah, kau tak perlu lagi banyak berjanji kepadaku. Kau tak perlu lagi berjanji akan datang ke rumahku, kemudian bersama kita akan memasak apapun yang kita bisa. Shit! Itu kan hanya ada di film Ada Apa Dengan Cinta. Sedangkan di dunia yang kita huni? Itu tak akan pernah bisa terjadi. Tidak akan! Kau tak perlu lagi membuang banyak energi untuk berjanji kepadaku. Lebih baik kau gunakan saja energimu itu dengannya. Kuyakin, dia lebih membutuhkan kehadiranmu. Daripada kau hadir di duniaku yang sedang kuperbaiki ini. Lupakan saja janjimu jika itu perlu. Karena orang-orang sepertiku adalah orang-orang yang sering tersingkir dan terpinggirkan oleh sebuah keinginan. Meskipun keinginan itu terlalu lirih untuk disebut perjuangan, tapi paling tidak, keinginan itu berbanding lurus dengan harapan.

Sudahlah, kau tak perlu tahu dengan duniaku yang baru. Yang pasti aku tak akan terjun ke dunia kegelapan. Aku tak akan melakukan tindakan bodoh dengan melukai diriku sendiri. Aku memang suka dengan Tani Madjoe, tapi paling tidak, aku tidak akan menyanyikan lagu “Pemabuk” untuk diriku sendiri. Aku hanya akan tejun ke kedalaman palung paling gelap. Mungkin, disanalah aku ditetapkan berada. Biarkan, aku, calon penyair yang pemurung ini akan bersembunyi di balik rambutku yang (akan) memanjang. Mungkin tak akan kau temui lagi diriku yang berlumur kata-kata indah. Tentang cinta, tentang rindu, tentang kasih sayang dan tentang semua yang berlabelkan penyatuan dua hati. Mungkin akan kau temui diriku yang bersimbah kata-kata tentang kesepian, kesenyapan, dan tentang semua yang berceritakan tentang kesunyian. Meskipun kesunyian terlalu lirih untuk disebut khalwat, tapi paling tidak, kesunyian itu berbandung lurus dengan kesendirian.

Sudahlah, aku tetap akan membayangkan tentangmu. Meskipun kau telah benar-benar akan melupakanku. Kutahu, kau akan melanjutkan hari-harimu dengannya. Dengan dia yang telah berhasil meruntuhkan semua idealismemu. Bukan lelaki sepertiku yang tak mampu merobohkan tembok itu. Aku tak lebih dari lelaki yang sekedar numpang lewat dalam kehidupanmu. Tak salah jika kemudian kau menjadikan aku sebagai keinginan yang kedua, ketiga, keempat, atau ke dua puluh empat, mungkin? Semestinya aku tak perlu meminta sesuatu yang berlebih kepadamu. Semestinya aku harus berterima kasih atas apa yang telah kau berikan kepadaku. Kau sudah begitu baik kepadaku. Kau telah bersedia menemaniku dalam berbagai lintasan. Untuk itu, tak seharusnyalah aku memintamu untuk memberikan sesuatu yang berlebih kepadaku. Karena pada kenyataanya aku tak pernah atau mungkin tak akan pernah mampu memberikan sesuatu kepadamu. Meskipun pemberian itu terlalu lirih untuk disebut sebagai hadiah, tapi paling tidak, pemberian itu berbanding lurus dengan ketulusan. Dan, aku telah dengan benar-benar tulus menyayangimu, Gih…

Sudahlah, tak perlu kau tunggu akhir dari cerita ini. Biarkan aku dengan segala sepiku masih tetap setia berada di bawah pohon, di sebuah taman yang kerap kali mempertemukan kita meskipun kita berasal dari disiplin ilmu yang berlainan. Ketika menulis inipun aku masih setia berada di bawah pohon itu. Meskipun sedikit sekali kenangan yang pernah tertoreh di bawah pohon itu. Tapi percayalah, dari bawah pohon inilah aku sering melihatmu dengan bermacam kepingan asa yang sering kau gambarkan dengan jelas di balik jilbabmu. Meskipun gambaran itu terlalu lirih untuk disebut sebagai berita, tapi paling tidak, gambaran itu berbanding lurus dengan realitas.

Sudahlah, aku semakin tak bisa mengingkari takdirku sendiri. Aku tak bisa melawan apa yang telah digariskan oleh Yang Maha Segalanya. Aku tak bisa! Meskipun telah dengan amat mudah aku mengucapkan, aku akan secepatnya melupakanmu! Tidak! Ternyata aku tak bisa. Aku tidak dengan sebegitu mudah menghapus atau melupakan semua hariku yang telah kau coret dengan tintamu. Mungkin memang benar, tak usahlah aku terlalu tenggelam dalam “euphoria” yang kini telah nyata dan benar adanya tersaji “indah” di depanku. Mungkin memang benar juga, secepatnya aku harus mengucapkan “Selamat Tinggal” kepada “euphoria” itu. Memang benar, mungkin. Tapi yang sungguh-sungguh benar dan besar adanya adalah, aku masih menyayangimu. Meskipun sayang itu (kini) terlalu lirih untuk disebut sebagai cinta, tapi paling tidak, sayang itu berbanding lurus hatiku.

Sudahlah, kau tak perlu lagi membaca cerita ini. Sekarang, setelah menemukan akhirannya. Cerita inipun juga harus berakhir. Seperti kisah kita yang juga harus berakhir. Sudahlah, semua memang harus berakhir…

xxx

Sudahlah, semua memang harus berakhir…

Di satu sudut kamarku & bawah pohon taman lokal J UM.

30 september 2006-5 oktober 2006.

Posted in Cerpen | 2 Comments »