Yang tak Kuketahui dari Malaikat Kecilku yang Begitu Anggun
Sungguh, darinyalah aku menemukan sebuah kedamaian yang jarang dapat kutemui dengan mudah di hidupku yang kini bergulir mendekati angka 20. Darinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun, aku seakan dibawa terbang mengenali betapa agung sebuah perjalanan yang selanjutnya dinamakan kehidupan. Darinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun, aku diajarkan bagaimana melepaskan alas kaki jika akan memasuki altar suci yang dimana semua manusia, siapapun, harus bersuci dulu jika memang akan memasuki ruangan itu. Darinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun, aku diajarkan untuk memaknai hidup yang sungguh bodoh jika harus diakhiri dengan goresan di urat nadi. Darinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun, aku seakan menemukan, inilah hidup.
Malaikat kecilku yang begitu anggun, ia adalah perempuan muda yang usianya terpaut beberapa tahun denganku, ia lebih muda dariku. Malaikat kecilku yang begitu anggun rambutnya hitam sepinggang. Wajahnya kuning langsat, oval. Bulu matanya lentik. Hidungnya tidak sebegitu mancung. Dagunya agak lancip. Lehernya jenjang. Bentuk tubuhnya langsing, sedikit padat berisi. Buah dadanya agak kecil. Kakinya panjang, agak berjingkat jika berjalan, dan itu juga semakin menegaskan bahwa ia memang malaikat kecil yang begitu anggun, yang memang layak untuk mendapat sanjungan.
Malaikat kecilku yang begitu anggun berbanding terbalik denganku jika berbicara masalah pakaian. Aku yang begitu gemar berpakaian hitam, berbeda sekali dengannya yang amat nampak anggun dengan pakaian putih-putihnya. Pernah, sekali, aku bermimpi, aku melihatnya memakai mahkota yang cahayanya begitu teduh, sama sekali tak menyilaukan mata. Malaikat kecilku juga sering memakai sepatu yang semakin menambah keanggunannya, warnanya juga sama, putih.
Malaikat kecilku yang begitu anggun sekarang beranjak dewasa. Beberapa saat lalu ia mengirimiku sebuah pesan pendek yang mengatakan jika ia telah menanggalkan seragam putih abu-abunya. Mengetahui itu, aku menjadi semakin asyik dengan kembara imajinasiku. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang sudah kita lakukan bersama. Ketika aku selalu rajin, tak mengenal lelah dan alpa menemui rumahnya ketika fajar belum begitu sempurna, mengantarkannya ke sebuah gedung yang menjadi tempatnya menuntut ilmu. Turun dari kendaraanku, Malaikat kecilku yang begitu anggun tak pernah lupa mencium punggung tanganku dan bibirnya yang mungil itupun akan bergerak lembut mengucapkan, “Terima kasih, Mas…”. Setelah itu, aku pasti menganggukkan kepala sedikit, tersenyum kecil, sembari mengarahkan telapak tangan kananku ke arah kepalanya, mengacak rambutnya perlahan dan kemudian mengucapkan, “Adik belajar yang rajin supaya tidak mengecawakan orang tua, Mas berangkat dulu ya? Mas sayang Adik…”. Dan Malaikat kecilku yang begitu anggun itu pasti berkata lagi, “Ya Mas, Mas juga yang rajin belajarnya, hati-hati di jalan, Adik juga sayang Mas…”. Setelah itu Malaikat kecilku yang begitu anggun tidak akan memasuki gerbang sekolahnya sebelum ia tidak lagi bisa melihatku di pertigaan depan sekolahnya yang konon merupakan Sekolah Menengah Umum terbaik di Kabupaten ini.
Malaikat kecilku yang begitu anggun seringkali menyemangatiku ketika ia tahu aku memang sedang membutuhkan dukungan. Malaikat kecilku yang begitu anggun selalu hadir, sekedar memberiku wacana jika hidup ini memang tidak semudah yang bisa dilihat. Malaikat kecilku yang begitu anggun adalah sosok perempuan yang memang layak mendapat sanjungan, ia begitu patuh terhadap ayah bunda yang telah menghembuskan nafas untuk melahirkannya ke dunia. Malaikat kecilku yang begitu anggun akan melakukan apapun yang diperintahkan ayah bundanya, meskipun tak jarang itu berseberangan dengan apa yang diinginkannya. Ia memang seorang perempuan penurut.
Pun, dengan rencana yang akan menjodohkannya Malaikat kecilku yang begitu anggun dengan lelaki pilihan ayah bundanya. Secara logika, ini sudah bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Pun juga sudah bukan zaman kuda gigit besi, tapi sudah zaman kuda gigit roti *. Sudah bukan saatnya lagi anak harus dipilihkan jodoh oleh orang tuanya. Tapi, Malaikat kecilku yang begitu anggun sepertinya menolak beranggapan seperti itu. Ia mengatakan, tidak ada salahnya jika seorang anak menuruti kemauan dan juga membahagiakan orang tuanya. Mungkin saja karena memang kultur keluarganya yang berlatar belakang militer yang membentuk pola pikir Malaikat kecilku yang begitu anggun menjadi seperti itu. Membantah, berarti bunuh diri. Bagaimana tidak penuh militerisme, ayahnya adalah seorang Kepala Pos Lalu Lintas di salah satu kecamatan di ujung kabupaten ini, sedangkan ibunya juga merupakan aktifis Bhayangkari (Persatuan Istri Polisi). Aku pernah mendengar jika Malaikat kecilku yang begitu anggun akan dijodohkan dengan salah satu putra dari rekan kerja atau atasan ayahnya. Yang kutahu, ayahnya sering kali mengajak rekan kerjanya (dan yang pasti juga akan mengajak putranya) bersilahturrahmi ke rumahnya, sekedar makan malam atau minum teh sembari temu akrab saja.
Melanggar atau membantah berarti bunuh diri. Malaikat kecilku yang begitu anggun tidak pernah berani melanggar apa yang telah digariskan oleh ayah bundanya. Jangankan untuk pacaran, untuk masalah telepon saja, lelaki jarang sekali ada yang diperbolehkan untuk menelepon ke rumahnya, kalaupun boleh, pasti akan diinterogasi terlebih dahulu. Aku berani bicara seperti ini, karena aku memang pernah mengalaminya sendiri. Waktu itu aku memang iseng menelepon ke rumahnya dan seperti yang telah kukira sebelumnya, aku diberondong dengan beberapa pertanyaan yang menyangkut hubunganku dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun, ada perlu apa dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun dan beberapa pertanyaan lagi yang sungguh dengan cepat menyedot pulsaku. Untuk meneleponnya saja memerlukan perjuangan yang benar-benar membutuhkan kegigihan, bagaimana jika Malaikat kecilku yang begitu anggun itu akan merangkai kasih sayang dengan lelaki yang dipilihnya? Aku memperkirakan, lelaki yang akan merangkai kasih dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun itu pastilah lelaki yang sangat sabar, telaten dan terakhir, bodoh! Wong sudah tahu orang tuanya tidak akan menyetujuinya kok mekso.
Tapi setahuku, Malaikat kecilku yang begitu anggun juga pernah menaruh hati kepada Jaka, teman karibku, pun sama halnya dengan Jaka, sebenarnya temanku yang sekarang merantau ke Makassar itu juga agak berlebih kepada Malaikat kecilku yang begitu anggun. Tapi, menyadari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika mereka tetap bersikeras akan memadu kasih, akhirnya dua cucu adam dan hawa inipun lebih memilih untuk saling memendam rasa di dalam lubuk hati mereka yang paling dalam. Yang kutahu juga, sebenarnya juga ada beberapa lagi lelaki yang menaruh hati kepada Malaikat kecilku yang begitu anggun, tapi setelah mengetahui “nasib” mereka kelak, mereka memilih mundur perlahan dari Malaikat kecilku yang begitu anggun itu.
Tapi meskipun begitu, meskipun Malaikat kecilku yang begitu anggun telah sekian lama akrab dengan garis-garis koordinat hidup yang telah digariskan oleh kedua orangtuanya, Malaikat kecilku yang begitu anggun bukannya hidup tanpa masalah. Aku ingat betul ketika Malaikat kecilku yang begitu anggun benar-benar diuji oleh Yang Maha Segalanya. Malaikat kecilku yang begitu anggun sedari kecil memang menderita penyakit Lemah Jantung, ia juga menderita Anemia, tapi, itu tidak menyurutkan semangat Malaikat kecilku yang begitu anggun untuk tetap beraktifitas, ia memang salah satu aktifis di Gerakan Pramuka yang diikutinya.
Waktu itu, aku mendapat sebuah pesan pendek dari Dinar, temanku semasa di SMP dulu yang sekarang menjadi kakak kelas Malaikat kecilku yang begitu anggun, Dinar mengabarkan kepadaku jika Malaikat kecilku yang begitu anggun di sekolah beberapa jam yang lalu pingsan, tak sadarkan diri dan Malaikat kecilku yang begitu anggun itu dirawat di salah satu Puskesmas yang terletak di dekat alun-alun Kecamatan. Waktu itu, sepulang sekolah, aku, Jaka dan beberapa teman yang berteman baik dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun segera bergegas menuju ke Puskesmas itu. Sesampai disana, beberapa selang infus melekat di tangan lemah Malaikat kecilku yang begitu anggun, Malaikat kecilku yang begitu anggun kemudian berkata seperti ini kepadaku,
“Mas, jika Tuhan ingin mengambilku, kenapa caranya harus seperti ini? Aku disiksa perlahan, tubuhku sakit-sakitan, pun, nilaiku tidak lagi bisa memenuhi keinginanku sehingga aku tdak bisa masuk di Jurusan yang kuinginkan…”
Sebelum Malaikat kecilku yang begitu anggun meneruskan kata-katanya, aku segera mengarahkan jari telunjukku ke arah bibirnya yang waktu itu terlihat putih, pucat pasi. Dan aku segera saja meluncurkan kata-kata penyemangat untuk Malaikat kecilku yang begitu anggun sembari mengusap rambutnya yang masih saja setia mengabarkan wangi. Beberapa hari setelah kesembuhannya, Malaikat kecilku yang begitu anggun mengirimkanku sebuah pesan pendek, isinya, ia berterima kasih atas kehadiran dan dukunganku sewaktu ia tergolek lemah di Puskesmas itu.
Jarang memikirkan masalah cinta, ditambah lagi dengan tuntutan ayah bundanya yang selalu ingin memberikan yang terbaik untuk putrinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun memilih untuk berkonsentrasi benar ke pendidikannya. Malaikat kecilku yang begitu anggun berangkat ke sekolah pukul enam pagi dan baru pulang pada pukul setengah dua siang ketika matahari baru saja meninggalkan titik kulminasinya. Beristirahat sejenak di kantin sekolah atau lebih memilih “menengok sebentar” organisasi yang diikutinya, Pramuka, untuk kemudian pukul setengah tiga sore berjalan kaki ke tempatnya menuntut ilmu di Bimbingan Belajar yang memang suduh cukup mempunyai nama di seantero Republik ini. Pukul tiga sore sampai waktu Maghrib di ambang pintu, sekitar pukul enam sore, Malaikat kecilku yang begitu anggun menghabiskan waktunya di Bimbingan Belajar yang mayoritas tentornya adalah mahasiswa semester akhir itu. Setelah itu, Malaikat kecilku yang begitu anggun akan pulang, kembali menemui rumah yang seharian tadi ditinggalkannya, mandi, menunaikan kewajibannya, makan malam dan selanjutnya kembali belajar untuk menyiapkan otaknya menghadapi sekolahnya besok. Biasanya Malaikat kecilku yang begitu anggun akan belajar sampai pukul delapan malam saja atau paling malam pukul sembilan. Setelah itu Malaikat kecilku yang begitu anggun akan beranjak mengakrabi tempat tidurnya, merebahkan badan sembari berharap malam ini akan datang sebuah mimpi yang akan mendatangkan kebahagiaan untuknya. Pukul sebelas malam, Malaikat kecilku yang begitu anggun akan kembali membuka dan mempelajari buku-buku pelajarannya, ia memang menyukai suasana malam ketika langit dipenuhi oleh kain-kain hitam yang membentang dan beribu lentera kecil yang warnanya sungguh elok. Malaikat kecilku yang begitu anggun memang telah sekian lama berdamai dengan malam. Tak jarang, karena terlampau asyik bercumbu dengan buku-buku yang dipelajarinya, Malaikat kecilku yang begitu anggun melewatkan begitu saja masa istirahatnya. Setelah menunaikan ibadah pertamanya, biasanya Malaikat kecilku yang begitu anggun akan kembali mempelajari buku-bukunya.
19 Juni 2006, pukul 12:11 wib Malaikat kecilku yang begitu anggun mengirimiku sebuah pesan pendek yang sungguh pendek memang, ia hanya menuliskan empat kata, “Alhamsulillah mas adik LULUS”. Selamat Malaikat kecilku yang begitu anggun, engkau sekarang telah menemui sebuah fase baru dalam hidupmu, engkau akan menanggalkan seragam putih abu-abu. Selamat datang di dunia Perguruan Tinggi. Sebuah lingkungan yang akan mencetak intelektual-intelektual yang akan merubah dunia, mencetak aktifis kampus yang sarat dengan idealismenya yang akan merubah birokrasi pemerintahan yang kadung bobrok ini dan sebuah institusi yang akan mampu juga mencetak manusia-manusia konsumtif nan kapitalistik yang akan membangun surganya sendiri di dunia ini. Aku ingat benar jika Malaikat kecilku yang begitu anggun akan meneruskan pendidikannya di Fakultas Kediokteran, di salah satu kampus di kota ini, sesuai “tradisi” yang ada di keluarganya.
Meskipun secara biologis aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun, tapi, apa yang tak kuketahui darinya? Aku memang bukan kakak sepupu dari Malaikat kecilku yang begitu anggun, apalagi kakak kandungnya. Bukan, aku memang bukan siapa-siapanya! Aku dengan Malaikat kecilku yang begitu anggun awalnya memang hanya berteman saja, tidak mempunyai hubungan lebih apapun. Tapi, mungkin karena perhatian yang kucurahkan untuk Malaikat kecilku yang begitu anggun yang terkadang mudah sekali rapuh memandang hidup, pun mungkin juga karena Malaikat kecilku yang begitu anggun yang merasa nyaman mempunyai teman sepertiku hingga akhirnya diantara kami masing-masing memperbolehkan memanggil satu sama lain dengan sebutan “Mas” dan “Adik”. Karena nama panggilan itulah, paling tidak aku mempunyai “tanggung jawab moral” kepada Malaikat kecilku yang begitu anggun. Dengan kata lain, aku sebagai “kakak” harus bisa mengerti jika aku kini mempunyai seorang “adik”, paling tidak, aku harus menjaga adikku, itu saja…
Sekali lagi, sebagai orang yang “biasa” saja, apa yang tak kuketahui dari Malaikat kecilku yang begitu anggun? Tapi kemudian, aku memang harus mengakui jika ada satu hal yang tak kuketahui dari Malaikat kecilku yang begitu anggun. Hari itu, hari selasa, ketika aku masih asyik menikmati letihku di kamar kos yang tinggal tiga hari saja kutempati ini Malaikat kecilku yang begitu anggun menelepon ke berhala kecilku, ia minta didampingi untuk menemukan salah satu gedung di kampusku tempat ia akan mengembalikan formulir SPMB. Segera saja aku mengambil tas punggungku dan melangkahkan kaki ke kampus. Sesampai di kampus, aku segera menghubungi Malaikat kecilku yang begitu anggun,
“Maaf mas, aku udah berhasil menemukan gedung A2…” Jawab Malaikat kecilku yang begitu anggun ketika kutanya posisinya saat itu,
“Ya sudah kalau begitu, tepatnya, adik dimana sekarang? Supaya mas bisa nemenin gitu…” Tanyaku sekali lagi,
“Aduh gak usah deh, maaf banget mas, aku sekarang sedang bersama kekasihku, emm, sebenarnya bukan kekasihku sih, dia cuma adiknya, tapi aku beneran gak enak sama dia, aku takut dilaporin sama kakaknya, kekasihku. Gak papa kan, mas? Mas gak marah kan ma adik?” Jawab Malaikat kecilku yang begitu anggun, kali ini suaranya terdengar agak menghiba,
“Oh, gak kok, mas gak marah, ya sudah, have a nice day ya? Sampaikan salam mas kepada kekasih adik. Merdeka!” Segera kujauhkan berhala kecilku dari telingaku masih dengan mengernyitkan dahi seakan tak percaya dengan kenyataan yang baru saja kudengar.
Yang tak kuketahui dari Malaikat kecilku yang begitu anggun adalah ia telah mempunyai kekasih sekarang, seseorang yang dulu pernah amat sangat “haram” ada di pusaran kehidupannya.
Malang, 27 Juni 2006, di salah satu sudut kampus Universitas Negeri Malang,
Untuk Malaikat kecilku yang begitu anggun, Ninik Sri Wachyuningsih.
Catatan : * Diambil dari salah satu bait dalam lirik lagu yang berjudul “Oya Mama… Oya Papa” Tani Madjoe Band, -Insya Allah- terdapat dalam album kedua “SERBU (SERba lima belas riBU)”.